Jumat, 25 Desember 2009

Menyimpannya di Dalam Persimpanannya


Tentang Persembahan ...
Oleh Leroy Brownlow

Banyak orang Kristen yang belum tahu tentang persembahan beserta hal-hal yang melekat di dalamnya. Menyimpan di dalam persimpanannya atau memberi persembahan merupakan salah satu dari tanggung jawab positif dalam kehidupan orang Kristen.

Di setiap zaman atau dispensasi, manusia telah diajar untuk memberi atau mempersembahkan korban kepada Allah; sebab itu, memberi persembahan yang tepat telah menjadi suatu hal yang penting bagi-Nya.

Pada zaman kitab Kejadian disebutkan, “Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.” (Kej. 4:4, 5). Allah tidak langsung menerima apa saja yang dipersembahkan, demikian juga dengan sekarang. Ini harusnya mendorong kita untuk berpikir tentang persembahan yang akan kita persembahkan.

Kristus memerhatikan bagaimana orang memberi. “Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memerhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar.” (Markus 12:41). Yesus memerhatikan apa yang mereka berikan; Ia memerhatikan apa dan berapa yang kita berikan.

Tuhan memerhatikan saat Ananias dan Safira memberikan persembahan mereka (Kis. 5:1-11). Dalam usaha yang sia-sia untuk mendapat pujian dari manusia, mereka berdusta tentang pemberian mereka. Akibatnya? Mereka dibinasakan saat itu juga. Ingat pernyataan Kitab Suci berikut ini: “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” (Gal. 6:7).

Allah memerhatikan persembahan kita; apa, bagaimana, sudah proporsionalkah atau belum, Ia tahu. Selalu mengingat fakta ini akan mendorong kita agar senantiasa memberikan persembahan yang terbaik kepada-Nya.

1 Korintus 16:2
Berhubungan dengan persembahan, ada beberapa pertanyaan yang perlu kita selidiki, dan jawabannya yang terdapat dalam 1 Kor. 16:2 harus direnungkan. “Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing--sesuai dengan apa yang kamu peroleh--menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang.”

Pertanyaan Pertama: Kapan? “Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu.”
Pengaturan masalah waktu atau hari ini sangat perlu diperhatikan. Allah mengkhususkan hari pertama dalam minggu. Karena hari ini selalu ada setiap minggu, maka kita harus selalu memberi dengan teratur dan sistematis. Ini juga secara tidak langsung mewajibkan setiap orang Kristen menghadiri perhimpuan ibadah setiap hari pertama dalam minggu – Hari Minggu – agar dia dapat memberikan persembahannya. (Ibr. 20:25).
Pertayaan Kedua: Siapa? “Hendaklah kamu masing-masing.”
Paulus menulis surat itu kepada orang Kristen, anggota gereja; sebab itu, setiap orang Kristen diperintahkan untuk memberi sesuatu sesuai dengan berkat yang ia peroleh. Perintah ini berlaku baik kepada laki-laki maupun perempuan, tua-muda.

Berikutnya: Apa? “Menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah.”
Ini mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan, dan setiap orang Kristen harus memberi dengan kerelaan, direncanakan. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor. 9:7)

Memberi persembahan harus dengan kerelaan, bukan tanpa dipikirkan sama sekali. Bukan mencari Kerajaan Allah lebih dahulu namanya kalau kita menghabiskan waktu selama seminggu dan datang beribadah pada hari Minggu lalu memberikan persembahan kepada Allah beberapa rupiah yang tersisa. Persembahan itu harus kita berikan dengan kerelaan, dan direncanakan dengan baik, sehingga kita sudah siap untuk memberi jika waktunya telah tiba.

Ini juga mengajarkan agar setiap orang Kristen membuat perencanaan keuangan-persembahan kepada Allah dengan saksama, cermat dan berpatokan pada firman-Nya. Mempersembahkan beberapa receh rupiah yang tersisa, atau tidak tahu berapa yang akan dipersembahkan saat pengumpulan uang tiba bukanlah karakter orang Kristen sejati.

Seperti yang disebutkan di atas, kita harus memberi tapi “jangan dengan sedih hati atau karena paksaan.” “Dengan sedih” artinya memberi dengan enggan. Janganlah kita bersedih dengan pemberian kita atau bersungut-sungut dalam memberi. Juga jangan bersungut-sungut atas khotbah-pelajaran yang berbicara tentang persembahan.

Persembahan yang diberikan karena paksaan, tekanan, atau dengan motif agar mendapat pujian dari manusia tidak akan bermanfaat kepada si pemberi. Faedah pemberian itu hilang dari si pemberi. “Pemberian tanpa si pemberi adalah kosong.” ---James Russel Lowell.

Selanjutnya: Berapa Banyak? “Sesuai dengan apa yang kamu peroleh.”
Inilah pemberian yang sebanding, sepadan. Jumlah persembahan kita harus sebanding dengan jumlah berkat yang kita peroleh. Kita melihat keadilan Allah dalam perintah ini. Perintah ini dibuat sedemikian rupa supaya setiap orang, entah ia mendapat banyak atau sedikit, bisa menaatinya. “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” (2 Kor. 8:12).

Bagaimana dengan persembahan perpuluhan?
Hukum perpuluhan diberikan di bawah zaman Bapa-bapa dan Yahudi. Ini persembahan yang sepadan dan jumlahnya adalah sepersepuluh. Abraham memberikan perpuluhan kepada Malkisedek, Imam Allah Yang Mahatinggi. (Kej. 14:17-20). Yakub bernazar kepada Allah, “Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.” (Kej. 28:22)

Perpuluhan diberikan kepada orang Ibrani, di bawah hukum Musa, dan menjadi standar hukum persembahan mereka. “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN ... Mengenai segala persembahan persepuluhan dari lembu sapi atau kambing domba, maka dari segala yang lewat dari bawah tongkat gembala waktu dihitung, setiap yang kesepuluh harus menjadi persembahan kudus bagi TUHAN.” (Imamat 28:30-32)

Namun perhatikan, hukum perpuluhan tidak dapat dijadikan sebagai patokan atau pegangan dalam memberi persembahan sekarang sebab kita tidak berada di bawah hukum Musa. Artinya, di zaman kekristenan, kini, kita, dalam hal memberi persembahan, tidak diatur oleh hukum Musa, hukum Perpuluhan, tapi hukum Kristus, Perjanjian Baru.

Pertanyaan Terakhir: Mengapa? “Supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang.”
Dalam berbagai kesempatan tidak perlu diadakan pengumpulan uang khusus kalau setiap orang Kristen memberi sesuai dengan berkat yang ia peroleh, secara teratur dan setiap hari minggu.

Memberi Persembahan, Suatu Anugerah yang Perlu Dikembangkan
Memberi persembahan, memberi yang terbaik, yang sesuai dengan kaidah hukum-Nya adalah suatu anugerah yang perlu ditumbuh-kembangkan. “Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, --dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami--demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini.” (2 Kor. 8:7).

Sukacita yang Sesungguhnya

Hidup sukacita adalah dambaan semua orang. Setiap orang mempunyai keyakinan tersendiri tentang apa yang bisa membuatnya bahagia dan bersukacita. Namun terkadang apa yang diyakini bisa membuatnya bahagia dan bersukacita itu justru malah menjeratnya ke dalam kemurungan dan kehampaan arti-hidup.

Pandangan umum tentang hal-hal yang bisa membuat manusia mendapatkan sukacita adalah uang, karir yang bagus, relasi yang banyak, keinginan selalu terpenuhi, dan lain-lain. Tapi kadang, walaupun kelihatannya semua hal yang disebutkan di atas terpenuhi, namun hidup masih tetap murung. Tak ada sukacita.

Di manakah sukacita sejati itu sesungguhnya terletak? Mungkinkah kita memiliki dan mendapatkan sukacita dan kebahagiaan yang sejati? Jawabannya: Ya!

Bila kita menempatkan rasa aman dan harapan kita pada Tuhan, maka kita akan mendapatkan sukacita itu. Di sinilah letak sukacita yang sesungguhnya.

Ketika seseorang menaruh harapan pada harta, pangkat atau status sosialnya, maka ia sedang berada di tepi jurang kemurungan. Bukan bermaksud mengatakan jika harta, pangkat atau status sosial tinggi itu tidak penting sama sekali. Akan tetapi, menaruh harapan pada sesuatu yang pasti akan binasa, hilang atau berubah sama de-ngan menaruh diri di ambang kemalangan. Mari kita camkan apa yang pernah di-firmankan Yesus, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Lukas 12:15).

Bilamana harapan kita gantungkan dan tetapkan pada Tuhan, kita akan bersukacita. Sebab, Tuhan itu kekal dan tidak berubah (Maleakhi 3:6; Ibr. 13:8). Sukacita akan tetap bersama kita. Hubungan yang harmonis dengan Tuhan adalah sumber utama sukacita yang sesungguhnya.

Sukacita sejati yang menjadi tujuan dan sasaran hidup kita harus berdasarkan kebenaran Firman Tuhan. Alkitab mengatakan apa yang harus kita prioritaskan atau cari dahulu dalam hidup ini. Yesus berfirman, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat. 6:33).

Seseorang yang sasaran utama hidupnya adalah harta duniawi, kehormatan dari manusia ataupun hal-hal yang bersifat duniawi, maka ia tidak akan pernah mendapatkan sukacita yang sebenarnya. Jika tidak waspada bisa-bisa ia menjadi hamba pada hartanya.

Namun, kalau sasaran hidup kita adalah melayani Tuhan, maka sukacita akan tetap bersama kita. Berkat Tuhan akan berlimpah dalam hidup kita. Hati kita akan selalu bersukacita karena kita menjadi hamba pada Tuhan, pada kebenaran, bukan pada dunia.

Pola pikir yang benar membuat sukacita mengalir dalam hidup kita. Perasaan manusia bukanlah akibat dari kebetulan yang ada tetapi ditentukan oleh cara atau pola pikirnya.

Perspektif kita akan mempengaruhi perasaan kita. Kecenderungan berpikir negatif akan membuat perasaan dan hidup semakin buram. Tidak ada semangat. Akan tetapi, bila kita selalu memiliki pola pikir yang benar maka hidup kita akan selalu bergairah, berseri-seri. Kemampuan berpikir positif akan menolong dalam menjalin hu-bungan dengan orang lain.

Firman Tuhan melalui rasul Paulus berkata, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikir-kanlah semuanya itu.” (Pilp. 4:8).

Hidup sukacita adalah dambaan semua orang. Sumber sukacita yang sejati tidak jauh dari kita. Tuhan adalah sumber sukacita yang sebenarnya. Tuhan akan menolong setiap orang yang ingin mendapatkan sukacita dari-Nya. (*)

Rencana Allah Untuk Pernikahan


Tentang Pernikahan ...

Oleh Leroy Brownlow

Usia pernikahan dalam sejarah manusia hampir seusia dengan peradaban manusia itu sendiri. Pernikahan ditetapkan oleh Allah sendiri. Merupakan kehendak Allah bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi satu dalam perkawinan. Tidak ada ketetapan yang dibuat untuk poligami atau perceraian. Pernikahan itu dimaksudkan untuk berlangsung seumur hidup (Kej. 1:26-28; 2:18-25; Rom. 7:1-3; 1 Kor. 7:39).

Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, poligami (beristri lebih dari satu orang) pun mulai (Kej. 4:19). Ketika hukum Musa diberikan, oleh karena kekerasan hati bangsa Israel, mereka diperbolehkan bercerai tapi itu dalam situasi dan kondisi tertentu (Ulg. 24:1-4). Dan ingat, ketetapan itu hanya diberikan kepada orang Israel dan juga karena kedegilan hati mereka. Meski sebenarnya Allah tidak berkenan dengan perceraian. Allah berfirman, “Sebab Aku membenci perceraian...” (Maleakhi 2:16).

Yesus Kristus datang ke dunia dan memberikan hukum baru, Perjanjian Baru, kepada semua bangsa, namun Ia tidak memberi hukum baru tentang pernikahan.

Sebaliknya, Ia menghendaki agar semua manusia kembali kepada rencana semula, hukum Allah yang asli, yang diberikan kepada bangsa Israel (Mat. 19:3-12). Firman yang berbunyi, ”...apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia...” masih merupakan kehendak Allah kepada kita sekarang ini.

Tuhan, dalam Perjanjian Baru, hanya menyatakan satu-satunya alasan perceraian, yaitu apabila salah satu pasangan itu berzinah. Suami atau istri berhak menceraikan pasangannya yang berzinah. Dan seseorang yang menikah dengan orang yang telah diceraikan oleh sebab zinah itu ia juga berzinah (Mat. 19:9). Jadi tidak ada perceraian hanya karena beda pendapat, atau karena merasa tidak cocok lagi.

Orang-orang yang berzinah tidak akan mewarisi kerajaan surga (1 Kor. 6:9,10; Ibr. 13:4). Mereka yang berzinah harus bertobat, berhenti berbuat zinah dan kembali kepada Allah untuk mendapatkan pengampunan.

Rumah Tangga adalah fundasi utama dalam masyarakat. Rumah Tangga berfungsi menyediakan persahabatan, pemenuhan kebutuhan pokok manusia, membesarkan dan mendidik anak. Masyarakat, gereja dan bangsa hanya bisa kuat bila Rumah Tangga dan keluarga juga kuat.

Banyak hal sekarang ini yang berusaha menghancurkan keharmonisan rumah tangga. Seperti hukum perceraian yang begitu mudah, tindakan-tindakan amoral dan pandangan yang salah tentang peranan kaum wanita dalam masyarakat. Namun, yang paling dominan adalah kegagalan manusia menaati hukum Allah tentang hukum pernikahan dan segala hal yang melekat di dalamnya seperti yang terdapat dalam Alkitab.

Umat Allah hendaknya jangan memutar-balikkan hukum dan kehendak Allah, khususnya tentang pernikahan. Kita tidak memiliki hak untuk merubah ketetapan Allah. Walaupun mayoritas masyarakat telah mengubah arti pernikahan dan perceraian, tetapi kita sebagai umat-Nya harus tetap berdiri pada kebenaran firman Tuhan.

Patokan kita adalah kebenaran firman-Nya, bukan pendapat manusia. Adalah sangat penting untuk kita pahami bahwa pernikahan itu adalah seumur hidup dan perceraian adalah dosa, kecuali oleb sebab zinah.

Karena itu jangan kita melupakan nasehat ilahi, ”Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.” (Ibr. 13:4). Rencana Allah terhadap pernikahan adalah masih tetap: “satu laki-laki, satu istri, seumur hidup.”

Kemurtadan Besar

Penyimpangan Besar yang Dimotori Oleh Sekelompok Orang ...

Judul Asli: The Great Apostasy

“Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan, oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenarana.” (1 Tim. 4:1-3)

Yesus mendirikan lembaga kerohanian terbesar, yaitu Gereja-Perjanjian Baru, dan menghendaki agar gereja-Nya dikelola menurut hukum yang Ia tetapkan. Setelah para rasul meninggal, penyimpangan pun mulai terjadi. Perubahan yang sedikit demi sedikit itu mengakibatkan institusi tersebut makin jauh dari kebenaran. F.W. Mattox dan E.M. Borden menyebutkan, perubahan-perubahan kecil seperti para penatua memilih kepala penatua atau bishop terjadi sekitar tahun 150 M.

Perubahan sedikit demi sedikit yang terjadi pada awal abad ke -3 M telah merubah iman dan persekutuan jemaat yang mula-mula ke dalam federasi episkopal keuskupan, yang dikepalai oleh para bishop yang mengklaim mendapat otoritas langsung dari rasul-rasul.

Secara berangsur-angsur, khususnya pada abad ke-4 M, bishop Roma menetapkan dirinya menjadi bishop kepala di antara para bishop. E.M Borden menyebutkan, pada tahun 606 ditahbiskanlah paus pertama yaitu Boniface III. Episkopal kepausan yang sama sekali tidak pernah disebutkan dalam organisasi Gereja Perjanjian Baru itu pun eksis. Tata cara ibadah dibentuk dan sakramen-sakaramen ditetapkan. Sekelompok orang yang murtad ini mengatakan semuanya itu dibutuhkan untuk mendapatkan keselamatan, dan itu hanya bisa dilaksanakan oleh para imam yang kepadanya diberikan kuasa dan otoritas.

Lalu, pada tahun 325 M, diterbitkanlah kredo-kredo untuk memimpin semua umat Kristiani, yang dikenal dengan Kredo Nicean, yang berawal dari pertemuan Dewan Bishop di Necia–Bithania, dekat kota Konstantinopel itu diprakasai oleh pemimpin Romawi, Kaisar Constantine. Kredo-kredo itu mereka terima secara aklamasi dan berkembang hingga keseluruh wilayah kekuasaan kaisar Roma. Setiap orang “Kristen” yang tidak mau menerima kredo tersebut dicap bida’ah (sesat, menyimpang).

Sangat mengherankan betapa cepat dan jauhnya kelompok yang murtad itu menyimpang dari pola Gereja Perjanjiaan Baru yang benar. Mereka tidak membutuhkan lagi otoritas Kitab Suci untuk mengajarkan dan mengamalkan apa yang mereka mau; pengekangan pun merajalela. Penyimpangan demi penyimpangan dari Kitab Suci bermunculan. Beberapa di antaranya bisa Anda perhatikan dalam daftar berikut ini:

  1. Perbedaan dan jarak di antara para penatua, dibuat.
  2. Doa-doa bagi orang mati, dimulai kira-kira tahun 300 M.
  3. Tanda salib, (dari dahi-ke dada terus ke kiri dan ke kanan) sebelum dan sesudah berdoa dipraktekkan sejak tahun 300 M.
  4. Penyalaan lilin sebagai bagian dari ritual tata-cara ibadah, sekitar tahun 320 M.
  5. Pemujaan malaikat, orang-orang kudus yang telah mati, serta penggunaan patung-patungnya, dimulai sekitar tahun 375 M.
  6. Misa ditambahkan sebagai perayaan sehari-hari, tahun 394 M.
  7. Pengagungan dan Pemujaan terhadap Maria dimulai, dengan gelar “Bunda Allah” dikenakan kepadanya, oleh Dewa Efesus pada tahun 431 M.
  8. Para imam mulai mengenakan pakaian yang berbeda (jubah) dari orang awam, tahun 500 M.
  9. “Pengurapan minyak suci” (untuk orang yang sedang sekarat), diperkenalkan sekitar tahun 526 M.
  10. Doktrin Purgatori (Api Penyucian), ditetapkan oleh Gregory I tahun 593 M.
  11. Pemakaian Bahasa Latin dalam doa dan ibadah ditetapkan oleh Gregory I, tahun 600 M.
  12. Doa ditujukan langsung kepada Maria, orang-orang suci yang telah mati, dan malaikat-malaikat, diperkenalkan sekitar tahun 600 M.
  13. Gelar “Paus” atau Bishop Universal diberikan kepada Baniface III oleh kaisar Pochas tahun 607 M.
  14. Instrumental musik ditambahkan ke dalam ibadah oleh paus Vitalia pada tahun 657 M, tapi karena banyaknya kemarahan dan penolakan, alat musik itu disingkirkan; namun beberapa tahun kemudiaan ditambahkan lagi.
  15. Mencium kaki paus dimulai ketika Paus Constatine bertakhta tahun 709 M.
  16. Kuasa para paus atas dunia, diberikan oleh Pepin, raja Franks, tahun 750 M.
  17. Penyembahan terhadap salib, patung-patung dan benda-benda keramat, diresmikan tahun 786 M.
  18. Air suci, yang dicampur dengan sejumput garam dan diberkati oleh imam, mulai dipraktekkan tahun 850 M.
  19. Pemujaan Santo Yosef, diperkenalkan tahun 890 M.
  20. Lembaga para kardinal, didirikan tahun 927 M.
  21. Baptisan lonceng, ditetapkan oleh Paus Yohanes XIII tahun 965 M.
  22. Kanonisasi orang-orang suci yang meninggal pertama kali dipraktekkan oleh Paus Yohanes XV tahun 995 M.
  23. Puasa setiap hari Jumat selama bulan puasa Saum, dimulai sekitar tahun 998 M.
  24. Menghadiri Misa, menjadi suatu korban persembahan, ditetapkan menjadi sebuah kewajiban pada abad XI.
  25. Selibasi (Pembujangan) para imam dan kardinal, dideklarasikan oleh Paus Gregory VII (Hildebrand) tahun 1079.
  26. Rosario, yang berisi butiran-butiran tasbih dipakai ketika berdoa, diciptakan tahun 1190.
  27. Penjualan surat pengampunan dosa dimulai sekitar tahun 1190.
  28. Transubstantiasi (dalam perjamuan, roti dan anggur saat dimakan dan diminum berubah menjadi tubuh dan darah Yesus yang sesungguhnya) diumumkan oleh Paus Innocent III tahun 1215.
  29. Pengakuan dosa kepada imam (bukan kepada Allah) juga ditetapkan oleh Paus Innocent III di hadapan Dewan Lateran tahun 1215.
  30. Pemujaan roti wafer (roti tipis yang dipakai saat ritual misa) didekritkan oleh Paus Honorius III tahun 1220.
  31. Alkitab terlarang bagi kaum awam dan ditempatkan dalam Indeks Kitab-kitab Terlarang oleh Dewan Valencia tahun 1229.
  32. Scapular, kain berbentuk syal yang dikenakan di atas bahu para biarawan, ditetapkan oleh Simon Stock, seorang biarawan Inggris, tahun 1251.
  33. Cawan Perjamuan terlarang bagi umat biasa, oleh Dewan Constance, tahun 1414.
  34. Purgatori (Api Penyucian) dinyatakan sebagai dogma oleh dewan Florence, tahun 1439.
  35. Doktrin Tujuh Sakramen, disahkan tahun 1439.
  36. Golongan para imam Jesuit, didirikan oleh Loyola tahun 1534.
  37. Tradisi dinyatakan setara otoritasnya dengan Alkitab, oleh Dewan Trent tahun 1545.
  38. Kitab-kitab Apokripa ditambahkan ke dalam Alkitab, oleh Dewan Trent tahun 1446.
  39. Kredo Paus Pius IV ditetapkan sebagai kredo resmi dan sah tahun 1560.
  40. Silabus atau Ikhtisar kesalahan-kesalahan diproklamirkan oleh Paus Pius IX dan disahkan oleh Dewan Vatican – mengecam kebebasan beragama, suara hati, pidato, surat kabar dan penemuaan-penemuan ilmiah yang tidak disetujui oleh gereja Roma (Katolik). Dokumen yang sama, yang diterima tahun 1864, menegaskan otoritas yang dimiliki paus di dunia atas seluruh pemimpin sipil.
  41. Keadaan paus tak dapat berbuat kesalahan dalam hal iman dan moral diumumkan oleh Dewan Vatikan tahun 1870.
  42. Sekolah umum dikecam oleh Paus Pius XI tahun 1930.
  43. Doktrin kenaikan Maria (tubuhnya terangkat langsung ke surga setelah mati) diajarkan oleh Paus Pius XII tahun 1950.
  44. Maria dinyatakan sebagai ibu gereja oleh paus Paulus VI, tahun 1965.

Doktrin-doktrin dan tata-cara ibadah pada daftar di atas benar-benar menyimpang jauh dari pengajaran Gereja-Perjanjian Baru yang didirikan Yesus tahun 33 M. Penyimpangan-penyimpangan tersebut diperkenalkan oleh gereja Roma, nyata sekali bertolak belakang dengan Kitab Suci.

Itu adalah institusi buatan manusia yang tidak mengamalkan kebenaran. Fakta ini bukannya tak diperhatikan oleh orang. Di bawah permukaan gereja yang kuasanya atas kehidupan dan pikiran orang-orang nampak absolut dan tak dapat diganggu-gugat itu terdapat pemberontakan bawah-tanah dan ketidaksepakatan. Kadangkala suara-suara pemberani akan menemukan caranya untuk menerobos ke atas dan berkata dengan tegas menentang penyimpangan-penyimpangan tersebut.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
© Copyright, Truth For Today, 2002.
http://www.biblecourses.com
Dialih-bahasakan oleh Marolop Simatupang
(dengan penyesuaian tata bahasa seperlunya)

Mengapa Perempuan Tak Diizinkan Memimpin Kebaktian Umum

Oleh : Clem Thurman

Yesus Kristus tentunya tidak berprasangka buruk terhadap kaum perempuan, tidak juga menganggap remeh kemampuan mereka. Demikian juga para rasul yang dipimpin oleh Roh Kudus yang Ia utus untuk memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13). Kitab Suci sangat menghargai kaum Hawa dan menempatkan mereka pada posisi terhormat

Yesus berdoa kepada Allah Bapa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” (Yoh. 17:17). .

Firman Allah menyatakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan melayani sebagai “penatua-penatua ... diaken-diaken dan ... gembala-gembala.” (Ef. 4:11;1 Pet. 5:1-3; 1 Tim. 3:1-7; Tit. 1:5-11). Salah satu syarat-nya adalah “suami dari satu isteri.” (1 Tim. 3:2; Tit. 1:6). Itu yang dikatakan Firman Tuhan. Apakah kita akan mengabaikan hal itu?

Menempatkan atau mengangkat seseorang yang tidak memenuhi syarat dalam sebuah tugas atau pekerjaan bukanlah suatu sikap menunjukkan hormat. Saya tidak pernah ditunjuk menjadi Sekretaris Negara atau duduk di kursi Makamah Agung. Saya juga tidak pernah diangkat menjadi kepala dokter bedah di sebuah rumah sakit ternama. Namun itu bukan berarti saya tidak dihargai sama sekali, tapi karena saya tidak memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Itu juga tidak lantas membuat saya inferior dibandingkan dengan mereka yang memenuhi syarat pada pekerjaan tersebut. Itu hanya mengindikasikan bahwa kita melayani sesama di bidang yang berbeda. Akankah kondisinya lebih baik bila standar-standarnya direndahkan supaya penginjil seperti saya bisa mengoperasi pasien yang dalam kondisi sekarat? Itu bukan hanya suatu penghinaan bagi profesi kedokteran sebab saya tidak memenuhi syarat melakukan pekerjaan seperti itu.

Demikian juga, mencoba meninggikan seseorang dengan merubah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah merupakan suatu sikap tidak hormat pada gereja dan Tuhan yang telah membuat peraturan tersebut, yang mendirikan dan memerintah gereja melalui Firman-Nya. Dan salah satu peraturan yang disebutkan dalam Kitab Suci adalah bahwa perempuan tidak diizinkan memimpin dalam ibadah atau kebaktian umum.

Akan tetapi perlu diperhatikan meski dilarang oleh Kitab Suci, kaum perempuan bukanlah “anggota kelas dua” dalam Gereja yang didirikan oleh Yesus. Rasul yang diilhami itu dengan jelas menulis, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Gal. 3:28).

Namun setara bukan berarti semua punya tugas dan pekerjaan yang sama. “Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota … Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya … Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh … Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat.” (1 Kor. 12:14, 18, 20, 29).

Tidak semua anggota jemaat memenuhi syarat pada semua kategori pekerjaan-pekerjaan gereja, namun hal itu tidak lantas membuat mereka menjadi “anggota kelas dua.” Masing-masing adalah anggota dalam tubuh seperti yang ditetapkan oleh Yesus.

Ada tugas dan pekerjaan yang harus dikerjakan dan masing-masing telah diberkati dengan karunia-karunia yang berbeda-beda agar tugas itu dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, karena tiap-tiap anggota memiliki karunia-karunia yang berbeda, apakah itu berarti Allah memandang rupa?

Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah telah memberikan Yesus Kristus kepada Jemaat “... sebagai Kepala dari segala yang ada, Jemaat yang adalah tubuh-Nya…” (Ef. 1:22-23) Atas dasar itu, Yesus berfirman, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” (Mat. 28:18)

Yesus yang sama juga berfirman, “Aku akan mendirikan JemaatKu.” (Mat. 16:18). Ia mendirikan gereja-Nya, lalu mengajarkan segala rencana-Nya dan peraturan dalam Firman-Nya. Ia menetapkan bagaimana peraturan-peraturan itu diajarkan dan juga tentang pemerintahan dalam gereja-Nya. Tuhan tidak pernah bertanya kapada manusia apa yang disukai oleh manusia itu, demikian pun hingga saat ini.

Ia memerintahkan manusia, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mark. 16:15). Dalam surat kiriman Paulus, Tuhan berfirman, “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.” (1 Kor. 14 :34). Itulah keinginan dan pengajaran Allah yang terdapat dalam Firman-Nya yang telah Ia ilhamkan.

Setelah Paulus, di jemaat-jemaat lokal, mengajarkan bahwa setiap orang dapat berdoa (dan mengajar) kemudian ia menulis, “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” (1 Tim. 2:11-12). Perhatikan kembali, itulah yang difirmankan Allah, itu bukan kata-kata manusia. Sebab apa yag ditulis Paulus bukan doktrin atau pengajaran manusia, tetapi “memang sungguh-sungguh demikian--sebagai firman Allah” (1 Tes. 2:13).

Frasa “memerintah atas laki-laki” mengandung arti berkuasa atas laki-laki, dan ketika perempuan mengambil alih kepemimpinan baik untuk mengajar (berkhotbah) atau pun menjadi pemimpin dalam pertemuan-pertemuan umum jemaat maka itu sudah menabrak batasan-batasan yang ditetapkan Kitab Suci.

Mengapa kaum perempuan tunduk di bawah kepemimpinan kaum Adam karena Kitab Suci menegaskan bahwa “Karena suami (laki-laki) adalah kepala istri (perempuan) sama seperti Kristus adalah Kepala jemaat...” (Ef. 5:23). *Note: Kata laki-laki dan perempuan dalam kurung hanya tambahan penulis dalam artikel ini).

Perlu digarisbawahi kaum perempuan diperintahkan untuk tidak berkhotbah atau mengambil alih kepimpinan dari laki-laki dalam pelayanan umum (ibadah) bukanlah suatu sikap radikal yang didukung oleh “gereja saya” (jika saya pemilik gereja!) tetapi itulah yang Tuhan kehendaki yang dituliskan rasul-Nya dalam Firman-Nya. Apakah kamu mau berdebat dengan Tuhan?

Gereja tidak pernah melarang perempuan berdoa dalam ibadah. Seluruh jemaat harus berdoa ketika seseorang memimpin mereka dalam doa. Namun, seperti yang dinyatakan ayat di atas, perempuan tidak diizinkan untuk memimpin da-lam ibadah umum.

Kaum perempuan masih tetap bisa berkarya dalam gereja-Nya, mengajar kaum perempuan dan sekolah minggu serta melakukan penginjilan. Ada contohnya dalam (Kis. 18:24-26). Priskila dan Akwila, ketika melihat Apolos mengajar namun apa yang diajarkannya itu tidak tepat, “mereka membawa dia ke rumah mereka dan dengan teliti menjelaskan kepadanya Jalan Allah.” Apolos me-ngajar di depan umum, dalam perkumpulan. Namun Priskila tidak mengajar-nya di depan umum itu, ia menunggu sampai Apolos selesai mengajar, lalu kemudian bersama suaminya mengajar Apolos secara pribadi.

Rasul Paulus menyebutkan nama dua orang perempuan, Euodika dan Sinthike, dan menasihatkan, “Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens …” (Filp. 4:3).

Kedua pelayan yang saleh itu bukanlah “anggota kelas dua” dalam gereja-Nya. Kalau perempuan boleh memimpin dalam ibadah umum, maka Tuhan tentu tidak akan melarangnya. Namun dalam ayat-ayat kitab suci Tuhan maupun Rasul-Nya tidak pernah menempatkan perempuan untuk memimpin dalam ibadah umum gereja Perjanjian Baru. Kitab Suci dengan jelas berkata “tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengajarkan memerintah laki-laki.” (© GOSPEL MINUTES, Vol. 41, No. 6, FEB. 7, 1992).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dialih-bahasakan oleh Marolop Simatupang
(dengan penyesuaian tata bahasa seperlunya)

Apakah Manusia Itu?


Raja Daud pernah bertanya, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm. 8:5)

Dalam beberapa hal, secara umum, manusia memiliki kesamaan dengan hewan. Menghirup udara yang sama, makan makanan yang jenisnya hampir sama, dan memiliki kebutuhan yang persis sama. Namun, manusia berbeda dengan hewan.

Karena kita berbeda dengan hewan, maka kita perlu tahu mengapa kita ada di dunia ini? Apa tujuannya kita hidup di muka bumi ini? Karena kita berbeda dari hewan, maka kita perlu tahu ke mana kita akan pergi setelah kita mati? Kita tahu bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Masih ada kehidupan yang abadi setelah ini.

Ayub pernah berkata, ”Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan. Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan.” (Ayub 14:1-2)

Apakah kita sama seperti hewan bila kita mati? Bagaimana kita dapat menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas?

Pembaca yang dikasihi Tuhan, Allah telah menyediakan jawabannya untuk kita di dalam Alkitab. Allah telah mengatakan siapakah kita, mengapa kita ada di dunia ini dan ke mana kita akan pergi setelah hidup ini.

Apakah Manusia itu?
Apa yang membuat manusia itu berbeda dengan hewan? Rasul Paulus memberi jawabannya, ”Semoga Allah damai sejahtera me-nguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Tes. 5:23)

Manusia memiliki tubuh jasmani dan rohani, sementara hewan hanya jasmani. Tubuh jasmani kita akan mati, membusuk dan kembali ke tanah (Kej. 3:9; 35:18) Namun tubuh roh kita akan kembali kepada Dia yang mengaruniakannya.

“Dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang menga-runiakannya” (Pengk. 12:7)

Mengapa Kita Ada di Dunia Ini?
Hidup di bumi ini singkat. Kematian akan menjemput setiap orang. Sebab itu, tidaklah bijak bila kita hidup hanya untuk memuaskan keinginan tubuh kita. Tidaklah bijak juga apabila kita hanya memikirkan dan mementingkan kepentingan sendiri, tidak peduli pada lingkungan dan sesama.

Rasul Yohanes mengingatkan, ”Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di da-lamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab se-mua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan da-ging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya. (1 Yoh. 2:15-17)

Yesus berfirman,”Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:26)

Tujuan kita hidup di muka bumi ini adalah untuk memuliakan Allah dan melakukan apa yang Ia kehendaki, sesuai dengan yang tertulis dalam Alkitab.

“Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perin-tah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban se-tiap orang.” (Pengk. 12:13)

Ke mana Kita akan Pergi?
Ke mana roh kita pergi setelah kita mati? Apa yang akan kita hadapi setelah kita meninggalkan dunia yang penuh dengan kejahatan ini?

Setelah kehidupan ini usai, kita , setiap orang, akan menghadap takhta penghakiman Allah. Penulis Kitab Ibrani menegaskan, “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu di-hakimi.” (Ibr. 9:27)

Rasul Paulus mengingatkan kita, “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” (Rom. 14:12) Dan “...kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dila-kukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” (2 Kor. 5:10)

Setelah penghakiman, ada dua tempat yang disediakan sebagai upah bagi kita yaitu Surga atau Neraka. Kehidupan sekarang inilah yang menentukan di mana jiwa manusia itu kelak. Surga, tempat yang penuh dengan sukacita, hidup bersama Anak Allah, suatu tempat bagi orang yang percaya dan taat kepada Allah. (Yoh. 14:1-3; Pilp. 3:20; Why. 21:3-5) Neraka, adalah tempat penghukuman, penuh dengan ratap tangis, penderitaan selamanya bagi mereka yang menolak percaya dan tidak taat kepada-Nya. (Mat. 10:28; 25:41,46; 2 Tes. 1:7-10)

Saya Harus Memilih ...
Allah sangat mengasihi kita. Ia ingin kita selamat. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan ber-oleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16)

Namun, Ia tidak memaksa seorang pun. Ia mengundang dan menghendaki kita selamat. “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepada-mu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat. 11:28-29)

Keselamatan hanya ada dalam nama Yesus. (Yoh. 14:6; Kis. 4:12) Apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan keselamatan itu? Apa yang harus kita lakukan untuk menjawab undangan Yesus?