Minggu, 29 Maret 2009

Humor di Tengah Kepenatan Sosial

Oleh Marolop Simatupang
Rasanya kepenatan selalu mendera setiap hari. Persoalan datang silih berganti tanpa henti-hentinya. Persoalan yang satu belum tuntas sudah muncul persoalan yang lain, dalam bentuk yang lain, kadang lebih berat. Persoalan-persoalan itu terkadang kian menyesakkan.
Bukan hanya beban hidup-sosial, tapi juga beragam informasi negatif lewat media massa cetak dan elektronik yang menjejali kita, semakin menghimpit kehidupan. Krisis finansial global, resesi ekonomi yang selalu mengancam. Harga-harga kebutuhan pokok tidak stabil. Para pekerja khususnya di sektor industri kerajinan dan tekstil terancam PHK. Bencana alam seperti banjir, kekeringan, kerusuhan di berbagai daerah pascapilkada membuat beban masyarakat semakin besar.
Dalam situasi seperti ini dibutuhkan jalan keluar guna menjaga psikologis, akal sehat dan pikiran tidak kacau. Pelbagai persoalan tersebut tak ayal membuat hidup makin penat. Dalam situasi seperti ini kita butuh keseimbangan agar tetap berakal sehat, tetap berpikiran jernih dalam menyikapi semua yang terjadi, untuk menjaga kewarasan. Maka solusi yang tepat untuk itu adalah humor.
Mencetuskan humor-humor segar bisa melepaskan diri sejenak dari berbagai persoalan yang menghimpit, keluar dari ketegangan yang mengekang, melepaskan ketegangan lewat humor. Sebab humor bisa menjadi pencair yang bagus dalam suasana ketegangan. Bisa juga membuat pikiran rileks sejenak, yang olehnya kemudian muncul ide brilian untuk memecahkan masalah.
Humor biasanya muncul dalam bentuk narasi. Namun tidak melulu dalam bentuk cerita-guyonan. Bisa juga dalam bentuk lukisan, di mana rasa humor dan kelucuan dibangkitkan lewat deformasi bentuk pada objek, manusia maupun hewan. Humor seperti ini sering muncul dalam bentuk karikatur di berbagai media cetak dan elektronik. Gambar-gambar deformatif semacam ini bisa mencairkan pikiran sejenak. Membuat kita tertawa dalam hati, memancing senyum.
Terkadang humor muncul sebagai bentuk aspirasi ketidakberdayaan untuk menetralisasi suasana. Di sini humor berfungsi sebagai daya tahan psikologis seseorang dalam menghadapi sebuah situasi, seperti guyonan yang pernah dipopulerkan Gus Dur.
Pada tahun 1960-an seorang supir taksi di Jakarta mengantarkan penumpang asal Amerika Serikat (AS). Sang penumpang itu kerap bertanya tentang gedung-gedung yang dilewati selama perjalanan.
“Itu gedung apa?” tanya penumpang itu.
“Oh itu Sarinah, pusat perbelanjaan termodern saat ini. Dibangun dalam empat tahun,” jawabnya.
“Wah, kalau di AS hanya butuh dua tahun membangun gedung seperti itu. Kalau yang itu gedung apa?” timpal sang penumpang.
“Itu Hotel Indonesia, dibangun hanya dalam waktu dua tahun,” jawab sopir itu lebih lugas. “Kalau di AS, gedung seperti itu pasti sudah berdiri hanya dalam waktu satu tahun,” lagi-lagi, bule itu menimpali dengan agak pongah. Sang sopir mulai kesal.
Ketika melewati Stadion Senayan kembali warga AS itu bertanya tentang bangunan yang dilewati taksi itu.
Kali ini sang sopir menjawab agak kalem, “Wah, saya tidak tahu. Kemarin sih belum ada!”
Terkadang humor muncul untuk menyindir tanpa menghakimi. Walau sekedar humor, yang muncul lewat pelbagai media, entah berasal dari siapa, namun layak juga untuk dicermati. Seperti humor “Kisah di Neraka” yang pernah saya baca dalam sebuah majalah musik berikut ini.
Seorang warga Indonesia, koruptor kakap, meninggal dunia. Kemudian ia diadili di pengadilan korupsi internasional. Di sana sudah dikumpulkan para koruptor dari berbagai negara. Sebelum sidang, para terdakwa dikumpulkan di sebuah ruangan. Di ruangan itu terdapat beberapa jam dinding yang kecepatan putaran jamnya berbeda-beda, tergantung tingkat korupsi di negara terdakwa.
Para terdakawa itu melihat-lihat, ada jam dari Nigeria yang putaran jamnya sedikit cepat. Berarti korupsi di negara itu tidak parah. Ada jam dari Filipina, putarannya sedikit lebih cepat. Ada jam dari Kamboja, lebih cepat lagi, dari Etiopia, makin cepat. Namun mereka heran koq enggak ada jam dari Indonesia.
Akhirnya mereka bertanya kepada seorang hakim. “Jam dari Indonesia tidak ada?” “Oh, ada koq,” jawabnya, kalem, “tapi kami taruh di gudang, sebab di sana lebih efektif dijadikan kipas angin!” Ehm..!
Menurut Steven R. Covey (Tujuh Kebiasaan Manusia yang Efektif: 1997), manusia mempunyai empat plus satu bakat unik, (1) Kesadaran Diri, (2) Hati nurani, (3) Imajinasi, (4) Kehendak Diri, plus satu yaitu humor. Kesadaran diri dan imajinasi kreatif itulah yang menghubungkan segala hal dengan cara-cara baru dan lucu sehingga tidak terus menerus tercekik, tegang atau tenggelam.
Dalam buku “Menulis di Media Massa GAMPANG!” (2005) dikatakan selain lima indera yang sudah dimiliki agar lengkap orang memerlukan indera keenam: humor.
Terkadang datangnya sebuah humor tidak diketahui asalnya dari mana. Namun humor-humor itu tiba-tiba muncul dalam pelbagai jalan, dan disebarkan lewat pelbagai media. Tapi ada juga humor yang muncul atau dipopulerkan oleh seseorang, seperti Gus Dur.
Bagi sebagian orang, guyonan yang kerap dilontarkan Gus Dur, terlebih saat masih menjabat presiden RI, mencerminkan ketidakseriusannya dalam memerintah, menggampangkan persoalan. Namun bagi sebagian kalangan, sense of humor yang tinggi itu justru menunjukkan spiritual intelligence (SI) yang tinggi dari seseorang. Bukan hanya bagi orang yang mempopulerkan humor itu tapi juga yang mendengarkannya.
Kalau tidak ada respon atau tawa sama sekali dari orang yang mendengarkan humor yang menggelikan hati, yang mengocok perut, maka bisa dikatakan inteligensinya mungkin agak lelet. Bahasa gaulnya telmi. Namun bagi orang yang meresponnya dengan tawa, minimal senyum, artinya inteligensinya tinggi. Cepat nangkap.
Terkadang humor dilontarkan dalam bentuk pertanyaan-guyonan yang membuat kita keluar sesaat dari jalur, tapi siapa peduli?
“Apa bedanya naik mobil sama naik motor?”
“Kalau naik mobil panas enggak kepanasan, hujan enggak kehujanan. Tapi kalau naik motor panas enggak kehujanan, hujan enggak kepanasan!”
Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat juga kadang terselip humor. Meski awalnya bukan sebuah humor, namun dengan dibumbui sedikit ramuan guyonan menjadikannya humor memancing tawa. Seperti humor berikut ini.
Seorang pemuda dengan sedikit agak ketakutan menuntun seekor kambing bertemu dengan Pak RT di tengah jalan.
“Pak RT, maaf, saya baru saja nyolong kambing. Apa yang harus saya lakukan, Pak?” ngakunya dengan terus terang.
“Astaga! Sekarang juga kamu balikin kambing itu kepada pemiliknya, dan minta pengampunan dari Yang Mahakuasa,” jawab Pak RT, tegas.
“Tapi gimana kalau pemiliknya tidak mau?” tanya pemuda itu.
“Kamu ceritakan dengan jujur, kamu minta maaf pada pemiliknya!”
“Tapi, Pak, nanti kalau tidak mau menerima, gimana?” tanya pemuda, lagi.
“Coba aja dulu.”
“Nanti kalau tetap tidak mau?”
“Kalau begitu kamu bawa aja kambing itu ke rumahmu, anggap aja rezekimu,” kata Pak RT itu. Sampai di rumah, Pak RT kaget setengah mati, kambing kesayangan satu-satunya hilang! (Dari sebuah koran harian umum tetrbitan Jakarta)
Patut dicatat humor dan tawa bisa menjadi pencair yang bagus dalam suasan ketegangan. Sebab, seperti dikatakan, bahwa tawa (juga senyum) adalah penghasil endorfin dan zat kimia pengubah suasana hati lainnya dalam otak yang memberikan suatu kenyamanan dan kelegaan dari rasa sakit. Dan salah satu obat yang konon sangat manjur untuk mengobati ‘penyakit’ adalah canda-tawa-lelucon-humor.
Sang Khalik sungguh Mahakuasa sebab Ia menciptakan dalam struktur raga manusia sebuah zat, enzim pemicu kegirangan: endorfin. Enzim pelepas ketegangan ini dilepaskan oleh otak manakala orang tertawa, paling tidak tersenyum, lebih-lebih terbahak-bahak. Itu sebabnya para dokter dianjurkan untuk, paling tidak, memiliki sedikit rasa humor demi percepatan proses penyembuhan pasien mereka.
Tapi hendaknya diperhatikan bahwa humor sejati menggunakan hati nurani dan imajinasi kreatif sehingga membangkitkan semangat, tidak dalam kepalsuan sinisme. Hati-hati juga dengan humor yang setingnya melulu di ranjang, atau yang hanya mengeksplorasi unsur seks. Ini bukannya menghasilkan enzim endorfin melainkan justru memicu libido. (Dari berbagai sumber)

Bermain Judi

Oleh : Lindell Mitchell
Alih Bahasa : Marolop Simatupang
Ketika Anda menentang praktek judi, Anda akan dituduh “coba mengatur moralitas!” dan membuat orang mengaku salah. Bagaimanapun, legislasi menunjukkan sikap moralitas pembuatnya. “Namun kamu berusaha memaksakan keyakinanmu pada orang lain,” teriak yang lainnya. “Tepat sekali,” jawab saya. Keyakinan saya mengenai pokok persoalan penting ini merefleksikan kebenaran, dan kebenaran akan selalu menang.
Menjadi sebuah pokok persoalan moral ketika pemerintah memutuskan untuk menambah pendapatan negara dari suatu aktifitas yang lebih banyak merugikan orang miskin daripada orang kaya. Menjadi sebuah pokok masalah yang layak diangkat ke permukaan ketika pemerintah mendorong warganya berpartisapasi dalam suatu bentuk pengumpulan pajak dari kegiatan imoral dan tidak tepat guna.
Juga menjadi sebuah isu moral yang mesti dikritisi ketika pemerintah melegalkan suatu bentuk usaha yang dilindungi untuk menarik pajak dan mendapatkan lebih banyak lagi dana dari orang-orang miskin, yang diklaim dipakai untuk menolong. Jangan tertipu oleh tabir asap, Anda didorong untuk tidak terlibat dalam permainan judi, mempromosikan, atau mendukung perbuatan jahat itu.
Bisnis Judi Dibangun di Atas Kebohongan
Orang-orang yang menyokong perjudian menjanjikan rejeki nomplok yang tak pernah nyata. Judi merampok orang-orang miskin untuk “mensubsidi” orang kaya. Masih ingat ketika kita, penduduk Texas, diminta untuk membeli lotere negara? Katanya dana hasil penjualan lotere itu akan dipakai untuk mendirikan sekolah-sekolah. Mana buktinya?
Ingat kembali, mengapa bentuk judi lotere baru-baru ini diperbaharui? Karena orang-orang telah mencampakkan lotere itu, mereka sadar mereka sebenarnya tak punya kesempatan untuk menang. Judi kasino tidak menghasilkan ekonomi durian runtuh bagi Atlantic City, New Jersey; Tunica, Mississippi, dll. Tidak juga memberikan ekonomi yang jatuh dari langit di masyarakat di mana Anda tinggal. Judi hanya akan memperkaya orang-orang yang menjalankan bisnis haram itu. Bermain judi hanya akan menimbulkan banyak masalah, mudarat yang lebih berat daripada manfaat finansialnya.
Kebohongan kedua adalah judi merupakan suatu industri kokoh yang menyediakan diversifikasi ekonomi. Tetapi sesungguhnya, judi adalah suatu bisnis yang penuh dengan intrik dan ketidak-jujuran. Judi bukanlah suatu industri dalam pengertian yang sebenarnya. Judi tidak menghasilkan produk yang sah. Tidak juga memberikan pelayanan terhormat. Lebih besar kesempatannya Anda disambar geledek daripada memenangkan hadian utama di meja judi kasino. Judi lotere tidak memberikan apa yang dijanjikan. Pajuan kuda, dan pacuan anjing, tidak memberikan hasil pada janji-janji muluk mereka. Setali tiga uang dengan kasino.
Kebohongan ketiga adalah bahwa bermain judi tidak mengambil uang dari orang-orang miskin. Ringkasan Laporan Dalam sebuah Penelitian Parlemen tentang Melegalkan Judi menyebutkan, “Judi adalah suatu bisnis yang bersifat parasit, yang sama sekali tidak produktif, di mana dalam aktifitas perjudian itu cenderung tidak menciptakan orang kaya baru, tapi hanya membagi-bagi lagi kekayaan dari kelompok-kelompok orang berpenghasilan rendah kepada kelompok-kelompok berpenghasilan tinggi.” (Congressional Research Service Report No. 83-84E, Updated, April 22, 1983). Tidak ada yang berubah dalam bisnis judi. Itu masih merupakan bisnis bersifat pasilan, atau benalu. Judi masih mengenakan pajak di atas pengharapan orang-orang.
Kebohongan ke-empat, bahwa judi semata-mata hanya menampung keinginan para maniak judi. Tapi sesungguhnya, melegalkan bisnis kasino berarti negara menyetujui dan turut mengembangkan judi. Ketika pemerintah terlibat, masuk ke dalam bisnis-bisnis permainan yang tidak murni dalam hal moral, mereka sebenarnya sedang mempromosikan kegiatan-kegiatan yang paling buruk, bukan yang terbaik kepada warganya.
Bermain Judi Melanggar Hukum Ilahi
Berjudi melanggar prinsip-prinsip kasih alkitabiah. Yesus bersabda, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat. 7:12).
Tak ada orang berjudi agar orang lain menang. Orang yang berjudi berharap lawannya kalah. Semakin banyak lawannya kalah semakin banyaklah ia menang. Sementara sikap mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan orang lain bertentangan dengan prinsip-prinsip kasih alkitabiah.
Rasul Paulus berkata, “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Filp. 2:3, 4). Ketika keuntungan pribadi didapat di atas kerugian dan kekalahan orang lain, prinsip-prinsip kasih benar-benar ditabrak.
Berjudi juga melanggar hukum Ilahi mengenai hukum bekerja dan mencari nafkah hidup. Allah telah memberikan jalan yang baik untuk mencari nafkah hidup. Paulus berkata, “Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan … Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri.” (2 Tes. 3:10, 12).
Orang-orang yang mendukung perjudian melanggar prinsip-prinsip yang baik tersebut. Mereka hanya mendorong suatu sikap “mendapatkan sesuatu tanpa mengeluarkan apa pun.” Bisnis judi didirikan di atas keserakahan dan bukan produktifitas yang positif dan pelayanan. Bermain judi melanggar prinsip-prinsip penatalayanan alkitabiah dan pertanggungjawaban ekonomis. Segala sesuatunya milik Tuhan. Ia mempercayakan harta milik-Nya kepada para penatalayan-Nya. Paulus berkata, “Bumi serta segala isinya adalah milik Tuhan.” (1 Kor. 10:26)
Karena Tuhan mempercayakan harta milik-Nya kepada manusia, maka itu harus digunakan untuk hal-hal yang berguna, positif dan sah, seperti: kebutuhan-kebutuhan hidup utama sehari-hari (2 Tes. 3:10); menafkahi keluarga, (1 Tim. 5:8); mendukung pekerjaan Tuhan (1 Kor. 16:1, 2); membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan (Ef. 4:28); membayar pajak (Mat. 22:21). Sumber-sumber alam dipercayakan kepada manusia bukan untuk dihambur-hamburkan!
Bermain Judi Mendorong Keserakahan
Yesus memperingatkan, “... dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Lukas 12:15). Namun orang-orang yang pro-judi, didorong oleh kepentingan pribadi, menjadikan kecenderungan sifat rakus orang lain sebagai alat untuk menipu mereka. Mereka berusaha meyakinkan orang-orang bahwa mereka “bisa mendapatkan sesuatu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.”
Judi penuh dengan intrik-tipu-daya dan ketidakjujuran. Orang-orang yang aktif dan mendorong bisnis judi coba memusatkan perhatian orang pada betapa enaknya bila kamu memenangkan hadiah utama. Namun mereka tidak pernah memberitahukan kalau judi itu telah diatur sedemikian rupa dan dilakukan dengan curang agar tiap-tiap orang percaya dan mau mempertaruhkan sembilan puluh persen (90%) hasil pencaharian atau income mereka [Bingo]. Namun itu malah menelan pendapatan keluarga yang mungkin bisa dipakai untuk usaha atau bisnis halal lainnya.
Bermain judi itu salah karena akibat yang ditimbulkannya. “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik.” (Mat. 7:17-18).
Dengan sederhana bisa dibuat daftar akibat-akibat buruk karena bermain judi, seperti: penyalahgunaan narkoba, prostitusi, memperlakukan anak dengan kejam, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), rumah tangga berantakan, ditimpa utang, terlibat dalam tindak kriminal, kecanduan, korupsi, dll. Tidak sulit untuk melihat bahwa judi tidak menghasilkan apa pun yang baik bagi masyarakat umum.
Judi merusak nilai-nilai moral, memperolok-olok prinsip kerja, membuat orang terlibat kejahatan finansial, menculik anak-anak, diperbudak ketagihan judi, melawan pemerintah, dan meracuni apa pun yang disentuh oleh judi.
Alkitab mendorong orang Kristen untuk menolak janji-janji palsu judi dan berkata tidak untuk judi. Orang berhikmat berkata, “Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan.” (Amsal 16:8). (Firm Foundation: Vol. 116, No. 6, Juni, 2001: Damon, TX).

Metode Perjumpaan Terakhir

Oleh Marolop Simatupang
Bayangkan Anda sedang bersama dengan teman Anda, atau keluarga Anda। Teman atau kerabat Anda itu besok akan pergi melaksanakan tugas di negeri yang jauh dalam waktu yang sangat lama। Berarti malam ini malam terakhir bersamanya। Apa yang akan Anda lakukan terhadap teman atau kerabat Anda itu?

Kemudian Anda mengantarnya ke terminal, ke stasiun, atau ke bandara। Selama perjalanan, atau saat menunggu keberangkatan, bagaimana sikap Anda terhadapnya? Biasanya, sikap dan cara pergaulan Anda berubah drastis। Anda pasti berusaha menunjukkan perhatian dan kasih sayang Anda kepadanya dengan lebih baik। Paling tidak berusaha menghadirkan kesan yang indah dan hangat terhadapnya. Inilah yang disebut dengan metode perjumpaan terakhir, (Yusuf Luxori, 2001:156). Mengapa perasaan, tindakan dan kesan seperti ini tidak bisa tejadi setiap hari? Bukan hanya pada saat perjumpaan terakhir saja?
Bila ada teman atau kerabat kita yang akan pergi jauh, khususnya jika itu adalah pertemuan terakhir kita dengannya, biasanya kita akan memberikan pelayanan terbaik, kesan yang indah dan kehangatan persahabatan yang tulus। Kita berusaha menghadirkan perasaan-perasaan positif terhadapnya। Membangun suasana positif, sikap yang रामः.
Coba ingat ketika Anda merasa kesal, marah atau sebal terhadap seseorang dalam suatu perjumpaan terakhir। Apakah Anda menginginkan pertemuan dengannya segera? Atau ingin agar perjumpaan terakhir itu segera berakhir?

Huh... kalau saja setiap orang menunjukkan metode perjumpaan terakhir setiap hari। Atmosfernya akan lebih hangat, intim dan romantis, bukan? Namun yang kerap terjadi malah sebaliknya. Sering kita bertemu atau bergaul dengan orang yang selalu bermuka cembetot (papaya face). Atau jangan-jangan kita sendiri yang sering seperti itu?

Dengan berusaha mempraktekkan metode perjumpaan terakhir kepada konco-konco kita, keluarga, siapa aja, berusaha menunjukkan persahabatan yang positif, bukankah manfaatnya akan diterima kedua belah pihak? Kita meninggalkan kesan yang indah, pengaruh yang baik kepada orang lain, di sisi lain kita tebantu dan terdorong untuk tumbuh semakin dewasa। Bukan cuma itu saja, hal ini juga bisa memperluas jaringan kerja kita. Semakin luas network dan pergaulan kita, semakin besar profit yang kita dapat. Setuju?

Tentu Anda pernah dengar “The Golden Rule,” bukan? “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepada kamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka।” Itulah Hukum Emas!

Kita ingin orang lain menunjukkan ketulusan dalam persahabatan, kehangatan, kesan yang baik। Kita ingin mereka menghadirkan perasaan-perasaan positif dan semangat optimisme terhadap kita. Tapi mestinya kita juga, kalau bisa lebih dulu, menghadirkan dan menunjukkan hal-hal positif itu terhadap mereka. Ingat prinsip simbiotis?

Steven R Covey (Tujuh Kebiasaan Manusia yang Paling Efektif, 1997:201) menyebutnya dengan prinsip berpikir Menang/Menang। Kemenangan jangka panjang bagi kedua belah pihak. Inilah kerangka pikiran yang harus selalu terpatri dalam hati dan pikiran kita dalam berinteraksi dengan sesama. Ini akan mempengaruhi kualitas harga diri kita, orang lain, yang pada akhirnya kualitas hubungan kita dengan orang lain.

Prinsip ini sangat fundamental untuk keberhasilan pada semua lini interaksi kita। Ini dimulai dengan karakter, bergerak ke arah hubungan yang baik, yang dipelihara dalam atmosfer yang kondusif, dan tentu ini memerlukan proses. Prosesnya? Ya itu tadi, kehangatan yang tulus dalam persahabatan, kesan yang baik, berusaha menghadirkan perasaan-perasaan positif. Metode perjumpaan terakhir!

Jika kita ingin menghadirkan kemenangan jangka panjang, berinteraksi secara efektif, menunjukkan metode perjumpaan terakhir harus dilakukan dengan hati yang tulus. Bila kita menggunakan teknik-teknik tertentu, manipulatif, orang akan merasakan sikap muka dua.
Ingatlah bahwa karakter kita terus-menerus memancar, berkomunikasi। Siapa kita sesungguhnya terpancar nyata, mengalir dengan sendirinya dari karakter kita. Tingkah laku aktual sehari-hari kita berbicara, memberitahukan kepada orang siapa kita sebenarnya.

Jika hidup kita berjalan panas dan dingin, jika kualitas interaksi pribadi kita angin-anginan, bila sehari-hari kita sinis, namun pada saat perjumpaan terakhir kita baik hati orang akan tahu baik hati kita itu hanya akting। Tidak murni. Praktekkanlah metode perjumpaan terakhir dalam interaksi setiap hari tanpa harus menunggu saat perjumpaan terakhir, profitabilitasnya sangat luar biasa!

Kehangatan yang tulus dalam pergaulan, kesan yang indah, positif dan mendalam memberikan dampak yang memesona jiwa dan melahirkan kepercayaan di dalam jiwa tersebut। Kehidupan sehari-hari kita bisa menjadi lebih bahagia tergantung pada usaha kita, kerja keras kita.

Mungkin Anda, dalam waktu yang cukup lama, tak akan berjumpa dengan teman atau keluarga yang Anda antar ke terminal, stasiun atau ke bandara tadi. Atau sebaliknya Anda sendiri yang pergi ke tempat jauh. Namun dengan menunjukkan metode perjumpaan terakhir ini Anda selalu berjumpa dengannya setiap saat, dalam hati. Cinta dan kasih sayang itu semakin besar. Anda punya kekuatan untuk menunjukkan metode ini. Percayalah!

Sabtu, 28 Maret 2009

Menangani Kritik Dengan Manis

Oleh Marolop Simatupang

Merespon dan menanggapi kritik bukanlah perkara gampang. Setiap orang pernah mendapat kritik, entah itu yang destruktif atau konstruktif. Namun yang paling sering kita terima adalah kritik yang bisa membuat merah telinga. Kritik pedas yang kadang membangkitkan emosi.

Seseorang, ketika mendapat kritik, bisa merasa hancur, down, atau terbentuk semakin matang tergantung pada kemampuannya dalam menanggapi kritik itu. Kepribadian seseorang bisa berubah menjadi negatif atau positif tergantung bagaimana ia meresponnya.

Menangani kritik dengan manis perlu dipelajari. Tak bisa dielak bahwa di saat-saat tertentu kita akan menerima kritik. Atau sebaliknya, kita yang mengkritik. Memberi dan menerima kritik adalah wajar selama itu didukung oleh fakta autentik.

Masalahnya, kerapkali kita bereaksi berlebihan dan emosi terhadap suatu koreksi meski kritik itu didukung olek fakta, terlebih lagi tanpa fakta sama sekali, atau kritik yang tidak adil. Yang seperti ini biasanya berasal dari orang lebih suka melihat kekurangan orang lain, tidak melihat kepada diri sendiri. Selumbar di mata orang nampak, balok di mata sendiri tak dilihat. Bahkan tidak sedikit orang yang terlalu kriti(ku)s sampai-sampai mereka tidak bisa menikmati hidup. Satu-satunya kritik yang dibuat untuk diri sendiri adalah bahwa ia belum cukup kritis terhadap orang lain.

Kita perlu belajar merespon kritik dengan manis. Aristoteles berkata, “Kritik adalah sesuatu yang bisa Anda hindari dengan mudah dengan tidak mengatakan apa pun, tidak melakukan apa pun, dan tidak menjadi apa pun.” Tapi kita ingin menjadi seseorang, somebody, melakukan sesuatu yang berguna bagi khalayak. Efek dominonya, kritik akan datang. Lalu bagaimana menanganinya?

Pahami perbedaan antara kritik destruktif dan konstruktif. Kita perlu menafsirkan apakah kritik itu positif –untuk membina agar meningkat atau negatif –untuk merenggut semangat dan antusiasme kita. Perbedaan antara kritik membangun dan menghancurkan sangat tipis. Maka perlu ditelaah dalam semangat apa kritik itu diberikan. Kata-kata dan motifnya mungkin harus mencermati.

Kritik membangun biasanya diawali dengan pujian yang murni, tulus, ucapan terima kasih, walaupun diakhir kritik itu disisipkan kritik bernada “negatif” namun dibungkus dengan kata-kata yang memotivasi, membangun. Sementara kritik destruktif cenderung ditunjukkan dengan sikap mengadili, sedikit arogansi. Mencari selumbar di mata orang.

Agar perbedaannya makin jelas, kita bertanya, kapan kritik itu diberikan? Bila itu dilontarkan di depan umum, maka kita tahu maksudnya kurang baik. Destruktif. Kritik yang elok umumnya dingkapkan secara pribadi, secara privat, bukan untuk konsumsi publik. Kritik yang dilontarkan di depan umum cenderung hanya untuk menonjolkan diri, bahkan mencela.

Kemudian, mengapa kritik itu diberikan? Ini ada hubungannya dengan sikap pengkritik itu. Ia mengkritik karena rasa sakit hati, iri atau demi keuntungan pribadi? Kritik yang cenderung meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain merupakan bentuk pemuasan ego yang paling rendah. Kritik sampah! Orang seperti ini biasanya punya kesulitan dalam berasosiasi dengan orang lain, berpandangan negatif akan orang lain sehingga dia akan bergaul dan berkomunikasi dengan cara yang tak elok dan penuh kritik pula.

Tidak semua orang suka dikritik. Namun bila mendapat kritik, hadapi dengan rileks, jangan terlalu serius. Bukan berarti apatis. Ini untuk membantu mengembangkan kemampuan dalam melihat kekurangan diri sendiri. Menertawai kecerobohan itu perlu. Orang yang bisa menertawai kekurangannya biasanya dapat kembali ke jalur jauh lebih cepat ketimbang orang perfeksionistis, yang membiarkan dirinya merasa bersalah. Maka berbahagialah orang yang bisa melihat dan menertawai kekurangannya. Kita bukan orang yang sempurna, namun berusaha menuju ke sana.

Biasanya, kalau kritik yang tidak adil kita respon dengan amat sangat serius, kita, secara pribadi, di dalam hati, remuk secara emosional, ingin balas dendam dan sakit hati meski di luar kita nampak menghargai kritik itu. Maka rilekslah, hadapi dengan manis. Kalau perlu tanggapi dengan humor segar.
Fokus pada orangnya serta melihat kritik itu melampaui isinya juga efektif dalam menangani kritik. Tanya, siapa dia? Siapa pengkritik itu? Mungkin perlu mempertimbangkan wataknya. Apakah orang ini, tak peduli di mana dan kapan, memang suka mengkritik? Jika ya, tanggapi dengan guyonan. Tak perlu menilai kritik itu dengan emosi dan terbenam makin dalam.

Menanggapi kritik dan orang yang negatif dengan emosional hanya akan membuat kita terbawa arus negatif. Tidak perlu defensif. Siapa tahu orang itu mengkritik hanya untuk mendapatkan perhatian. Namun kalau orangnya memang bijaksana, reputasinya bagus, penuh dengan asam-garam kehidupan positif, maka kritik dari orang yang demikian layak untuk diperhatikan. Sebuah kritik, walau sedikit bernada negatif, dari orang yang bijaksana lebih berguna daripada antusiasme hampa dari orang bodoh. Perhatikan apakah kritik itu benar-benar membantu.

Dalam menangani kritik, perhatikan sikap kita. Terkadang merespon kritik dengan emosi bisa lebih merusak daripada kritik itu sendiri. Jadi ini ada hubungannya dengan tingkat kedewasaan kita, sikap kita.

Kita Suci Perjanjian Baru memberikan cara bagaimana sikap kita seharusnya terhadap kritik. “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.” (1 Petrus 2:21-23).

Sikap buruk dan marah dalam menanggapi kritik hanya akan membuat suasana menjadi panas. Tak perlu emosi. Lakukan yang terbaik. Dan sadarilah bahwa orang yang baik dikritik. Eleanor Rosevelt berkata, “Lakukanlah yang baik walau untuk itu Anda dikritik. Anda akan dikritik jika melakukan sesuatu yang baik, juga akan dikritik jika tidak melakukan apa-apa.”

Sering kita lihat ketika seseorang itu melakukan yang baik, moral hidupnya lebih tinggi daripada standar dunia ia diserbu dengan berbagai kritik. Namun jangan menyerah, lakukan yang baik. Yesus melakukan yang terbaik bagi manusia dan dikritik. Jadi tidak perlu heran jika menghadapi hal yang sama. Itu kritik yang tidak adil. Namun ingatlah bahwa kritik yang tidak adil seringkali merupakan pujian yang tersembunyi, dan pengukuhan bahwa hidup kita bergerak (onward) ke arah yang lebih baik.

Dalam merespon kritik, lihat apakah ada orang banyak, bukan hanya pengkritik itu. Cakrawala pergaulan pribadi perlu diperluas. Sebab ada kemungkinan kita mendapat kritik yang sama dari beberapa orang. Kalau kasusnya demikian berarti kritik itu perlu dicermati. Evaluasi untuk melihat kekurangan dan progres sejauh ini. Itu artinya ada tantangan yang mesti kita hadapi.

Bahkan mungkin perlu melakukan perubahan yang signifikan untuk kemajuan yang lebih baik. Walau bernada negatif, namun kritik yang sama yang diterima dari beberapa orang bisa menyadarkan kita agar membuat suatu perubahan yang diperlukan. Sebab itu lihatlah melampaui pengkritik itu.

Untuk memperluas wawasan dan pergaulan, akan sangat baik bila kita bergaul dengan orang-orang positif. Melewatkan waktu bersama dengan mereka. Ini akan meminimalkan efek kritik negatif. Tidak perlu bertarung frontal dengan pengkritik negatif. Bila kita mengidentifikasi diri kita kecil seperti yang orang kritik dan berdebat panjang itu hanya akan membuang-buang waktu bermutu kita. Jika kita bergaul dengan orang-orang yang positif dan selalu menunjukkan teladan yang baik, maka kita akan punya pengaruh positif terhadap pengkritik, bukan karena sikap defensif tapi contoh positif tadi.

Untuk meminimalkan efek kritik negatif, fokuslah pada misi mulia kita. Ingat bahwa setiap orang tidak luput dari kekhilafan. Namun lari dari tugas ketika membuat suatu kesalahan bukanlah watak seorang manusia sejati. Lari dari tugas membuat kita tidak akan mencapai apa pun. Itu hanya akan menambah rasa frustasi.

Lihat kecerobohan itu dari sisi positifnya dan ambil pelajaran berharga darinya. Yang paling penting adalah memetik pelajaran dari kesalahan itu dan jalan terus untuk menggapai misi yang lebih besar. Pepatah Arab mengatakan kalau Anda berhenti setiap kali anjing menggonggong perjalanan Anda tidak akan pernah berakhir, tidak sampai di tujuan.

Orang mengkritik? Tidak perlu emosi. Sambil belajar dari kesalahan, tunggulah waktu yang tepat untuk membuktikan kekurangan kritik negatif itu. Seiring berjalannya waktu dan banyak peristiwa yang terungkap, kritik negatif dengan sendirinya akan tersingkir.

Fisik yang letih gampang bereaksi negatif terhadap sebuah kritik. Kelelahan kerap membuat kita kurang waspada pada suatu masalah, mudah emosi. Spiritual yang kering juga bisa menjadi titik kelemahan seseorang dalam merespon kritik. Tetap bugar secara fisik, spiritual, mental dan emosional agar tetap bisa waspada. Itulah dimensi kebutuhan manusia yang harus dipenuh dan dijaga dengan baik. Sehat secara fisik, spiritual, mental dan emosional akan memudahkan kita menangani kritik pedas dengan manis.

Menangani kritik dengan manis memang bukan perkara gampang. Namun kita bisa menanggapinya dengan cara yang elok, sikap dewasa. Di saat-saat tertentu, dan kadang tak terduga kita mendapat kritik, entah itu destruktif atau pun konstruktif. Jadi responlah kritik dengan manis. Tanggapilah dengan bahasa proaktif. Anda pasti bisa! (Sumber: John C. Maxwell: Be A People Person; Yusuf Luxori: Percaya Diri).

Memberi Kritik Dengan Manis

Oleh Marolop Simatupang

Jika kita tahu bagaimana rasanya mendapat kritik pedas, maka pandangan kita tentu akan berubah dalam hal memberi koreksi negatif kepada seseorang. Kalau kita enggan bergaul dengan orang yang suka mengkritik dan cenderung menghakimi maka tentu orang lain pun akan punya sikap yang sama bila kita juga suka memberi kritik yang tak adil.

Seseorang yang mendapat kritik negatif bisa merasa down dan emosi atau terbentuk semakin matang tergantung pada kemampuannya dalam meresponnya. Namun seseorang juga bisa menghancurkan semangat atau membina orang lain semakin dewasa tergantung pada kemampuannya dalam memberi kritik. Setiap orang pernah mendapat atau memberi kritik. Maka mempelajari seni merespon dan memberi kritik dengan manis agar tetap bisa menjalin dan membina hubungan tetap harmonis perlu.

Tidak tertutup kemungkinan di saat-saat tertentu koreksi harus diberikan. Itu bisa dilakukan tanpa harus konfrontasi frontal yang bisa merusak hubungan. Kritik yang dilontarkan tanpa sikap hati-hati, destruktif, bukan hanya akan merusak hubungan tapi juga kepribadian pengkritik serta orang yang dikritik. Hendaknya, kalau memang harus mengkritik, tidak dilandasi sikap emosi dan perasaan subyektif.

Beberapa orang berkata yang dibutuhkan sekarang adalah cheerleader, pemanduk sorak. Sudah cukup banyak pengkritik di dunia. Akan tetapi di saat-saat tertentu koreksi sangat dibutuhkan. Maka kritik itu bisa dibungkus dalam kata-kata dan dorongan positif. Yang perlu diperhatikan pertama-tama sebelum memberi kritik adalah orang yang dikritik itu harus dihargai, apa adanya, segala usaha yang telah ia lakukan serta progresnya sejauh ini.

Tujuan kritik itu mestinya membantu, bukan mempermalukan. Karena itu, sebelum memberi kritik, periksa motif. Ini penting. Ini akan mendorong pengkritik untuk bertanya pada diri sendiri apakah saya mengkritik karena persoalan pribadi? Bila terlalu melibatkan emosi atau persoalan pribadi biasanya yang muncul biasanya adalah reaksi negatif. Sangat tidak adil bila memutuskan persoalan itu layak dikritik atau tidak hanya berdasarkan perasaan subyektif. Kritik yang baik harus memberikan dampak positif pada kedua belah pihak, pelaku dan penerima, bukan untuk membuat semangat menjadi layu dan mati.

Kemudian, saya mengkritik, apakah hanya untuk membuat saya kelihatan lebih baik darinya? Mengkritik orang lain untuk meninggikan diri sendiri merupakan bentuk pemuasan ego yang paling rendah, pertanda ketidakmampuan berkompetisi dengan sportif. Pertanda merasa tidak aman. Selain itu perhatikan juga apakah kritik itu hanya untuk mendatangkan kesenangan kepada saya? Bila ya, sebaiknya menahan lidah dulu.

Ingatlah, seperti yang dikatakan dalam sebuah buku pengembangan pribadi bahwa kita tidak perlu mendekorasi pekarangan tetangga dengan tisu kamar mandi hanya untuk membuat teras rumah kita kelihatan lebih indah. Tidak perlu meniup lilin orang lain untuk membuat lilin kita bersinar.

Beberapa pakar manajemen kepribadian mengatakan bahwa diperlukan sembilan komentar positif untuk memberi keseimbangan pada satu kritik atau koreksi negatif, (9+:1-). Agar bisa menahan lidah untuk tidak selalu memberi koreksi negatif adalah dengan semakin banyak bertanya dan mendengarkan. Semakin banyak kita berbicara (saja) semakin sedikit kita didengarkan.

Sebelum mengkritik, agar tidak menimbulkan sakit hati, tanyakan pada diri sendiri, apakah kritik ini benar-benar penting? Apakah memang harus dikritik? Sebab tidak tertutup kemungkinan kritik dilontarkan dan terlibat dalam pertarungan kata-kata, yang sebenarnya tidak perlu terjadi hanya karena kesombongan.

Lebih baik menghindari kritik sepele, yang hanya merendahkan orang lain. Orang yang suka merendahkan orang lain akan rendah. Solusinya adalah dengan melihat jauh ke depan, ke arah tujuan yang lebih besar agar perhatian tidak direcoki oleh persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Apabila persoalan itu perlu dikoreksi, kritik dan bersikaplah spesifik, to the point. Utarakan tepat ke jantung persoalan, dengan kata-kata yang tepat serta berikan contoh spesifik dan aktual. Artinya tidak perlu berkeliling ke sana ke mari – ngalor-ngidul – dengan persoalan tanpa pernah memberikan solusi. Jika tidak bisa bersikap spesifik, lebih baik menahan komentar. Jangan berargumen untuk kelemahan orang lain. Orang yang membeberkan persoalan dan koreksi negatif tanpa bisa menanganinya biasanya kurang dihargai, kurang kerjaan, kurang ajar.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, dibutuhkan pujian tulus sebelum memberikan kritik, maka koreksi yang diberikan seharusnya bukan untuk merongrong kepercayaan diri orang itu. Maka penting sekali, sebelum mengkritik, untuk menemukan paling tidak satu bidang keahliannya kemudian puji dengan tulus, bukan pura-pura atau dengan teknik tertentu. Orang tahu apakah pujian kita itu manipulatif atau tidak.

Kredit yang diberikan harus makin menumbuhkan kepercayaan diri orang itu, meningkatkan semangatnya dan membangun rasa percaya diri yang kokoh bahwa ia punya kemampuan untuk mengatasi kekurangannya. Kritik yang baik adalah bilamana kritik itu ditanggapi dengan sikap responsif positif. Ini bisa dilakukan kalau selalu berusaha untuk tidak memberikan kritik pedas.

Prinsip pendekatan proaktif dan komunikasi empatik sangat mendesak untuk diterapkan, yaitu berusaha mengerti dahulu. Berinteraksi secara empatik bukan berarti harus setuju dengan seseorang, namun mengerti sepenuhnya orang itu, secara emosionil dan intelektuil.

Ini akan lebih efektif lagi jika tidak membandingkannya dengan orang lain. Tidak ada yang mau dibanding-bandingkan. Fokus pada individunya jauh lebih baik daripada membanding-bandingkan dengan orang lain. Berurusanlah dengan orangnya, sebab membanding-bandingkan selalu menimbulkan kekesalan, yang menghasilkan kebencian.

Orang yang dikritik rentan emosi. Dalam situasi demikian, fokus pada persoalan yang sudah ada jauh lebih baik ketimbang menciptakan masalah baru yang hanya membangkitkan emosi yang panas. Pegang dan ungkapkan fakta dengan manis untuk menghindari sikap defensif. Artinya hindari konfrontasi panas. Mengecam dan mengkritik mudah, tidak perlu banyak energi. Tapi dibutuhkan sinergi –kesabaran, kasih, sikap positif– untuk membuatnya kembali ke jalur dan tetap semangat.

Kritik yang konstruktif sesungguhnya adalah perpaduan koreksi kreatif-positif, melampaui masalah serta menolong orang itu untuk melihat persoalan dan menemukan pemecahannya. Memang lebih mudah mengkritik dibanding membantu mencari solusi. Tapi jelas itu bukan jalan terbaik. Akan lebih arif lagi untuk tidak mengomentari masalah kalau tidak siap menegakkannya.

Kehidupan ini harus dipandang sebagai arena koperatif, bukan kompetitif yang berujung pada kesimpulan menang-kalah. Banyak orang mengkritik dan cenderung berpikir secara dikotomi saya pintar-kamu kurang pintar, saya bisa berpakaian rapi-kamu tidak, dll. sehingga timbul sikap kamu kalah-saya menang, dan kamu mesti dikritik. Cara berpikir seperti ini pada dasarnya cacat.

Filosofi kemenangan dan pertumbuhan untuk mencapai keberhasilan bersama jauh lebih baik daripada menjadikan seseorang pecundang yang harus dikritik. Dalam buku “Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Paling Efektif” karya Steven R. Covey dikatakan jauh lebih baik bila kita berusaha untuk menggapai kemenangan berdua jangka panjang ketimbang kemenangan pribadi sesaat.

Jadi, yang mesti diutamakan adalah memecahkan persoalan, bukan menghakiminya. Yang coba dihandel adalah persoalan yang dihadapai saat itu. Sebab hanya akan merusak kredibilitas bila kritik itu menjadi serangan pribadi. Tak ada yang menang dalam situasi yang demikian.

Dalam pada itu, kritik harus diungkapkan tepat pada waktunya, pada tempatnya. Kapan? Di mana? Segera setelah mengetahui sesuatu tidak beres. Kalau menunggu terlalu lama momen yang menguntungkan itu bisa hilang dan persoalan pun hanya menjadi sejarah, tanpa pemecahan.

Tepat waktu juga akan sangat menolong agar mampu tetap konsisten dengan fakta, menjaganya tidak lari ke mana-mana, serta menggunakan insiden itu sebagai kesempatan untuk menolong orang itu tumbuh. Kritik juga mestinya disampaikan langsung kepada yang bersangkutan, secara privat, bukan lewat pengeras suara. Mengkritik di depan umum cenderung hanya untuk mempermalukan, mencela, atau menonjolkan diri di hadapan orang lain.

Ada orang yang gemar mengkritik karena dia lebih suka melihat kepada orang lain dan tidak melihat pada diri sendiri. Sebelum mengkritik, ada baiknya melihat pada diri sendiri dulu sebelum melihat pada orang lain. Tanyakan pada diri sendiri, apakah saya bisa melakukan sebaik yang dia lakukan? Sebab tidak tertutup kemungkinan seseorang mengkritik orang lain dan keberhasilan yang telah dicapai pada hal dia sendiri belum tentu bisa melakukannya.

Itu sebabnya perlu melihat dari kacamata orang lain. Siapa tahu pengkritik itu sendiri sebenarnya yang perlu membuat perubahan. Tapi kalau persoalan itu memang layak dan harus dikoreksi, kritiklah dengan manis dan konstruktif serta akhiri dengan dorongan semangat. Mengkritik seseorang dengan membabi-buta tanpa pemecahan dan dorongan semangat, meninggalkannya patah semangat merupakan tindakan yang tak manusiawi.

Goethe, penyair Jerman berkata, “Koreksi melakukan banyak hal, tapi dorongan semangat melakukan lebih banyak lagi.” Mengkritik orang tanpa memberi dorongan sama sekali, tanpa pujian pertanda ego yang rapuh dan selfish – mementingkan diri sendiri.

Di saat-saat tertentu memberi kritik memang perlu. Karena itu kuasailah seni mengkritik dengan elok. Semakin dalam kita mengerti seseorang, semakin kita menghargainya, semakin hormat perasaan kita kepadanya, meskipun ia punya kekurangan. Kalau persoalan itu memang perlu dikoreksi, kritiklah dengan manis. Anda pasti bisa! (Sumber: John C. Maxwell: Be A People Person; Yusuf Luxori: Percaya Diri; Steven R. Covey: Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Paling Efektif).

Orang Kristen dan Komunikasi

Oleh Marolop Simatupang

Orang Kristen adalah umat yang terpisah dari dunia kegelapan dan berada dalam kerajaan
Anak-Nya. Terpisah bukan berarti mengisolasikan diri dari dunia sosial dan masyarakat. Namun dalam cara hidup karakter yang berdasarkan firman Allah. Orang Kristen harus terlibat aktif dalam sosial masyarakat.

Dalam setiap sendi kehidupan sosial masyarakat, rumah tangga dan bisnis diperlukan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama dan dalam organisasi seperti sel darah merah yang mengalir di dalam pembuluh darah kita, yang membuat kita tetap hidup. Jika aliran darah bermasalah, maka tentu kesehatan kita akan terganggu. Demikan pun dalam komunikasi verbal kita sehari-hari.

Maka sepantasnya orang Kristen harus memahami metode komunikasi yang baik. Hal ini bermanfaat bagi orang lain dan diri sendiri. Dalam teori komunikasi dikatakan semakin banyak kita bertanya dan mendengarkan, semakin banyak pula kita didengarkan. Dan semakin banyak kita bicara (saja) semakin sedikit kita didengarkan. Komunikasi adalah keterampilan penting dalam hidup. Apa saja yang perlu kita perhatikan dalam berkomunikasi dengan orang lain?

Jadilah Pendengar yang Baik

Pendengar yang baik berarti mendengar dengan saksama orang yang sedang berbicara dan memahami apa yang dibicarakan. Steven R. Covey menyebutnya mendengarkan dengan empatik. Yaitu mendengar dengan maksud untuk mengerti. Hal ini menunjukkan kita menghargai orang yang sedang berbicara. Sangat menjengkelkan bagi siapa pun bila dicuekin pada saat ia berbicara. Jika orang sedang berbicara, perhatikan dengan saksama. Berbicaralah, atau beri tanggapan positif setelah yang lain selesai berbicara jika harus menanggapi.

Intisari dari pendengar yang baik bukanlah kita harus setuju dengan seseorang itu, tapi secara mendalam, sepenuhnya kita mengerti orang itu, secara emosional dan intelektual. Mendengar dengan mati hati, bukan hanya dengan telinga. Artinya kita berhubungan dengan realitas yang dibicarakan orang itu, atentif, untuk kita mengerti.

Dalam komunikasi ada interaksi dua arah. Sebelum memberi respon, tunggu sampai yang lain selesai bicara. Metode ini dipraktekkan oleh Ayub dan teman-temannya ketika mereka sedang bersoal jawab tentang masalah yang dihadapi Ayub (Baca Kitab Ayub ). Penulis kitab Amsal mengatakan, “Jika seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.” (Amsal 18:13)

Lambat Berkata-kata, Pikirkan Terlebih Dahulu, Jangan Terburu-buru!

Dalam berkomunikasi, seringkali pertengkaran terjadi setelah kata-kata keluar dari mulut. Penyebabnya? Karena kata-kata itu melukai si pendengar. Untuk menghindarinya, hendaknya jangan terburu-buru memberi respon. Lebih baik dipikirkan dulu sebelum mengatakan sesuatu. Hal ini membantu kita untuk menimbang-nimbang kata-kata yang hendak diucapkan, apakah bermanfaat atau justru melukai perasaan pendengar “Seseorang bersukacitakarena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya! (Amsal 15:23)

Kematangan pribadi dan karakter seseorang tercermin dari setiap kata yang keluar dari mulutnya. Hal ini menuntut kita untuk mendiagnosa atau memahami apa yang dikatakan seseorang itu sehingga kita bisa memilih kata-kata yang tepat dalam memberi tanggapan. Inilah kunci komunikasi antarpribadi yang efektif.

Kita bisa menghindari kesukaran dan pertengkaran bila kita bisa memelihara mulut dan lidah kita. “Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.” (Amsal 21:23)

Hindari Emosi Negatif, Tanggapi Dengan Lemah Lembut dan Ramah!

Dalam komunikasi yang baik terdapat interaksi. Akan jauh lebih baik bila interaksi positif. Namun terkadang timbul masalah karena emosi yang tidak terkontrol. Karena itu, dalam berkomunikasi atau memberi respon mestinya kita mampu mengontrol emosi dengan baik. Adalah tidak baik bila kita berbicara sambil marah-marah atau emosi meluap-luap.

Sikap positif ini jauh lebih baik daripada terperangkap dalam masalah, emosi dan kesalahpahaman. Untuk menghindari emosi negatif, kesabaran diperlukan. Keramah-tamahan telah menjadi barang langka saat ini. Mayoritas kita disibukkan dengan urusan pribadi sehingga tidak punya waktu untuk membangun minat pada orang lain, terlebih memberikan respon lemah lembut dalam interaksi komunikasi sehari-hari dengan sesama.

Alangkah baiknya bila kita berbicara dalam kesabaran, menanggapi dengan lemah lembut dan ramah. Penulis kitab Amsal mengatakan orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi yang cepat marah membesarkan kebodohan, (Amsal 14:29).
“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas nmembangkitkan marah.” (Amsal 15:1)

Ungkapkan Selalu Kebenaran Dengan Kasih, Jangan Melebih-lebihkan

Ada ungkapan, ”Semakin banyak bicara semakin banyak bohongnya.” Terkadang ungkapan tersebut benar. Tidak sedikit orang yang berkata bohong pada saat berbincang-bincang dengan temannya dengan maksud mendramatisir cerita atau topik pembicaraan.

Kita harus waspada akan setiap kata yang kita ucapkan. Prinsip yang mesti kita tanamkan dalam diri kita adalah selalu mengatakan kebenaran dengan kasih. Tidak perlu melebih-lebihkan atau menambah “bumbu” suatu cerita.

Memang bukan hal yang aneh bila banyak orang dalam memperbincangkan sesuatu sering melebih-lebihkan, dengan maksud tertentu. Jauh dari fakta yang sebenarnya. Kebiasaan buruk ini menjadi lumrah bagi sebagian orang dan diterima “menjadi” sebagai bagian dari cerita. Akan tetapi setiap orang pasti setuju dengan pernyataan berikut bahwa setiap ketidakbenaran akan selalu menjadi ketidakbenaran, kapan pun, di mana pun.

Sebab itu, dalam komunikasi kita sehari-hari kebenaran dan faktalah yang mesti dan selalu diungkapkan. Kitab Pengkhotbah mengatakan percakapan bodoh (bohong) disebabkan oleh banyak perkataan, (Pengkhotbah 5:2). Hati-hatilah!

Hindari Untuk Tidak Terjerat Dalam Pertengkaran!

Dalam komunikasi terkadang ada perbedaan pendapat. Itu wajar. Setiap orang mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan masing-masing menjelaskan sesuatu dari sudut pandangnya sendiri menurut pemikirannya. Cara inilah yang membuat masing-masing kita mempunyai cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah.

Jika kita tidak bisa menerima perbedaan pendapat, atau pendapat orang lain, maka orang lain pun tidak akan menerima pendapat kita. Setiap pribadi mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mengkritisi sesuatu. Beda paradigma, lumrah.

Jika demikian adanya, mengapa kita kesal, marah dan terbawa emosi ketika seseorang yang memiliki gaya dan cara bertindak berbeda dengan kita? Menerima perbedaan tanpa pertengkaran, tanpa penghinaan jauh lebih efektif dalam interaksi komunikasi verbal sehari-hari daripada terjebak dalam pertengkaran karena beda pendapat. (Yusuf Luxory: Percaya Diri, 2001).

Perbedaan pendapat tidak harus selalu menimbulkan pertengkaran atau perdebatan sengit, emosi. Kalau memang harus beda pendapat, akan lebih elegan bila diungkapkan dengan sopan, dengan lemah lembut dan penuh kedewasaan, tanpa membohongi diri sendiri.

Kalau memang tidak setuju, katakan, tetapi tentu dengan sikap positif dan ramah, tanpa ada pertengkaran. Terjebak dalam pertengkaran yang sia-sia, hanya karena beda pendapat bukanlah karakter manusia dewasa. Orang lain mungkin punya ide yang tidak persis sama dengan kita. Dan itu perlu dihargai, sebagimana orang lain menghargai pendapat kita. Beri ruang bagi hadirnya perbedaan pendapat. Perhatikan minat atau pendapat orang lain, (Filipi 2:2-4; Epesus 4:2)
“Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air, jadi undurlah sebelum perbantahan mulai.”(Amsal 17:14)

Jika Kita Salah, Akui!

Semua orang pernah dan kadang sering berbuat salah. Dalam berkomunikasi terkadang kita salah, entah salah ucap atau salah memahami. Jika itu terjadi, tindakan terbaik adalah mengakui dan minta maaf. Ini mengindikasikan kedewasaan.

Seringkali kita enggan mengaku salah dan minta maaf walau kita telah berbuat salah. Mengapa? Karena sombong. Mereka yang tinggi hati pada umumnya sulit mengaku salah dan minta maaf. Sebaliknya, yang rendah hati, berjiwa besar dan dewasa pikiran akan mengaku salah, kalau memang salah, dan meminta maaf.

Selama kita hidup, mengakui kesalahan, meminta dan memberi maaf akan selalu dibutuhkan. Maka dalam komunikasi (dan kehidupan sehari-hari) jika memang salah, mintalah maaf. (Kolose 3:13). Hanya mereka yang berjiwa besar yang mau minta maaf dan memaafkan dengan tulus. (Referensi: Steven R. Covey: Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif; Binarupa Aksara, Jakarta: 1997; Leroy Brownlow: Beberapa Hal yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan bagi Orang Kristen; Gereja Sidang Jemaat Kristus; Kelapa Gading: 2008.)

Eksistensi Sang Khalik

Oleh Marolop Simatupang

1. Argumentasi Kosmologikal (kosmos): Dunia.

Fakta bahwa kosmos atau dunia itu ada. Sesuatu tidak dapat berasal dari yang tidak ada, maka harus ada Penyebab Utama (Primal cause) yang “menyebabkan” dunia ini eksis. Dari sudut pandang natural, Ia pastilah “Seseorang.” (Leander Keyser: The Fall of Unbelieve)
Argumentasi ini mengatakan bahwa setiap akibat harus ada penyebabnya (Hukum Sebab Akibat). Salah satu tokoh utama yang memopulerkan argumen ini adalah Thomas Aquinas pada abad ke-12. Dunia ini eksis teratur karena ada Oknum Penyebab Utamanya, Sang Pencipta.

2. Argumentasi Teleologikal (teleos): Tujuan, Akhir.

Keteraturan yang ada mengimplikasikan akal budi dan tujuan pada hasil dari pengorganisasian itu. Argumen ini kadang disebut argumen “Disain dan Tujuan.” Karakteristik alam semesta adalah teratur dan itu bermanfaat; hal ini membuktikan ada Arsitek Ahli di belakang semua itu.
Rancangan alam semesta begitu menakjubkan. Sebuah benda elektronik yang amat complicated ada karena ada perancangnya, pembuatnya. Lalu bagaimana dengan dunia yang jaub lebih agung ini? Semua bangun rancang alam semesta begitu harmonis dan teratur. Contoh keharmonisan dan keteraturan alam semesta:
a. Matahari tepat berada sejauh 93 juta mil untuk iklim yang seimbang di atas bumi.
b. Bulan, 240 ribu mil memberikan sinar pada level yang tepat.
c. Putaran bumi yang memberikan musim.

Jadi, ada perancang di belakang semua itu. Bila dunia ini terjadi atau ada secara kebetulan, ketidakmungkinannya sama dengan seekor monyet menciptakan karya Shakespeare di atas sebuah mesin tik dengan cara mengetiknya sembarangan. Atau sepasang gaun pengantin yang begitu indah dijahit perancang dengan serampangan.

3. Argumentasi Antropology (antropos): Manusia.

Melihat manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut/berdasarkan gambar Sang Khalik. Selain bumi ini, manusia adalah Maha Karya Sang Pencipta. Rupa dalam spiritual, yang punya akal budi, moral, emosi dan kehendak. Memiliki intelektualitas yang tidak dimiliki oleh mahkluk hidup lain. Suatu kuasa buta ... tidak akan pernah dapat menghasilkan seorang manusia yang berakal budi, berperasaan, berkehendak, berhati nurani dan percaya pada Sang Pencipta.

Manusia yang jumlahnya miliaran, makin bertambah banyak, namun tak seorang pun yang memiliki garis tangan atau sidik jari yang sama. Organ-organ tubuh yang sesuai dengan tempat dan fungsinya. Ini membuktikan apa? Ada Perancang Agung di balik itu semua.

4. Argumentasi Moral

Bahwa manusia memiliki kesadaran akan apa yang salah dan benar, kesadaran moralitas. Berasal dari mana? Ini tidak dapat dinyatakan karena proses evolusi. Ada Oknum menempatkan kesadaran itu.

Manusia terdiri dari dua fisik: Jasmani dan Spiritual. Setiap manusia punya kebutuhan spiritual yang tidak bisa dipenuhi oleh material. Setiap jiwa memiliki sisi moral, kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan kemampuan itu tidak ada dengan sendirinya. Sang Khalik menanamkan ability istimewa itu dalam diri karya agung-Nya, manusia.

5. Argumentasi Ontologikal (ontos): Yang Ada, Keberadaan.

Berdasarkan pada fakta bahwa semua manusia punya kesadaran akan Penciptanya. Ontologi adalah pengetahuan tentang sesuatu yang eksis, yang ada. Manusia bukan cuma sekadar mahkluk ciptaan, tapi juga punya kemampuan untuk mengetahui siapa penciptanya.

Semua manusia adalah mahkluk penyembah. Ingin menyembah “ilah/dewa” yang dianggap punya kekuatan supernatural, di luar dunia fisik. Intuisi mereka menginginkan demikian. Karena konsep itu universal, maka yang menempatkan ide itu adalah Dia yang Mahakuasa.