Senin, 12 April 2010

Perjamuan Tuhan


Oleh William S. Cline

Perjamuan Tuhan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengenang pengorbanan Yesus. Aktivitas ini dilakukan dalam ibadah setiap hari pertama dalam minggu – Hari Minggu (Kis. 20:7). Dalam Per-jamuan Kudus ini orang Kristen makan roti tak beragi – melambang-kan tubuh-Nya – dan minum air buah anggur yang melambangkan darah-Nya.

Rasul Paulus menulis, “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia di-serahkan, mengambil roti, dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku! Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku! Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1 Kor. 11:23-26)

Lalu apa arti Perjamuan Tuhan bagi kita? Perjamuan Tuhan dilakukan untuk mengenang akan kematian, penguburan dan kebangkitan Yesus (Luk. 22:19) –bahwa Ia telah menderita, mati, dikubur dan bangkit pada hari ahad. Ia telah mengalahkan maut. Ini harus selalu diingat dan diresapi, sebab, inilah hakikat pengajaran Injil. Itu sebabnya betapa penting menghadiri ibadah setiap hari Minggu agar selalu bisa ambil bagian dalam Perjamuan Tuhan.

Dalam Perjamuan Tuhan kita bersekutu, bersama-sama, dengan Yesus, dan menunjukkan bahwa kita disatukan dalam tubuh-Nya, gereja-Nya, yang telah Ia tebus dengan darah-Nya.

Perjamuan Tuhan juga merupakan suatu penyataan iman, yakni penyataan iman kita dalam kematian, penguburan dan kebangkitan Yesus. Juga melambangkan perjanjian yang disahkan dengan darah-Nya, antara Kristus dengan umat Kristen.

Dengan ambil bagian dalam perjamuan kudus itu, secara tidak lang-sung, kita menyatakan komitmen untuk mengabdi dan melayani Dia. Ia telah mengorbankan diri-Nya bagi umat-Nya, umat yang Ia tebus. Sebagai umat, kita harus menunjukkan komitmen dan pelayanan kepada-Nya. Dengan melakukan Perjamuan Tuhan, kita juga memberitakan kematian dan kebangkitan Yesus hingga Ia datang kembali.

Perjamuan Tuhan yang kita lakukan setiap hari Minggu dalam ibadah bukanlah sebuah ritus yang bersifat rutinitas, tapi suatu elemen suci dalam ibadah agar kita selalu mengingat pengorbanan dan kematian Yesus di kayu salib. Dengan demikian kita tetap setia kepada-Nya dan rela berkorban serta mengabdi untuk Yesus. Usahakanlah dirimu agar selalu ikut ambil bagian dalam Perjamuan Tuhan yang dilaksanakan setiap hari Minggu. (*)

Pencobaan Cinta, Mencari Jodoh

Oleh Marolop Simatupang

Sebagai umat Tuhan, entah masih muda atau tua, kita pasti pernah menghadapi pencobaan. Ketika masih kecil mungkin pernah tergoda untuk mencuri uang orangtua guna membeli mainan. Menginjak remaja dan masa puber, mulai menjadi pemberontak pada orangtua, tidak mau mendengar nasihat, dan mulai tergoda pada lawan jenis.

Di bangku kuliah kita menghadapi godaan pergaulan bebas yang kerap menjerusmuskan ke lembah kelam, makin tergoda oleh daya pikat lawan jenis. Stelah menikah, kita menghadapi godaan perselingkuhan, tergodaoleh “rumput tetangga yang lebih hijau.”

Benar bahwa kita hanyalah manusia biasa, yang punya kelemahan dan sering jatuh oleh pencobaan iblis. Namun itu bukan alasan yang bijak untuk tidak bangkit dan melakukan pembaruan diri secara rohani. Kelemahan tersebut jangan dijadikan solusi pembenaran diri bila jatuh ke dalam pencobaan.

Seperti Simson, yang jatuh oleh sesuatu yang menurutnya sepele, kita juga bisa tersungkur oleh hal-hal yang menurut kita sepele, masalah kecil, yang tanpa kita sadari ternyata mengarahkan hidup kita pada kehancuran.

Ketika masih muda dan single, pikiran kita tersita oleh perkara mencari pasangan hidup. Itu wajar mengingat pernikahan adalah salah satu momen penting dalam hidup dan berpengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Namun dalam proses pencarian “soul-mate” ini, jangan sampai kita terperdaya oleh paras lahiriah belaka, hanya menuruti perasaan suka, mengabaikan apsek rohani sehingga nilai-nilai iman dan kekristenan terpinggirkan.

Mungkin masa pencarian tersebut menurut kita teramat panjang, melelahkan. Bahkan bisa melemahkan iman. Karena belum menemukan lawan jenis yang disukai dan seiman, lalu kita memutuskan untuk menjalin hubungan dengan orang yang tidak seiman. Untuk membenarkan keputusan itu kita pun membuat alasan-alasannya, antara lain dari tidak adanya lawan jenis yang cocok di gereja, masalah idealisme, tak ada yang memenuhi kriteria yang tak berujung itu, sampai alasan penginjilan. Pada hal, lawan jenis yang berperawakan “sempurna,” berada, sangat romantis, dsb, bisa digunakan Iblis untuk menggoda kita keluar dari Ladang Tuhan, dengan cara menanamkan dalam pikiran bahwa pasangan kita lebih penting daripada Tuhan dan Gereja-Nya. Si Penggoda itu juga bisa memengaruhi sudut pandang kita terhadap nasihat-nasihat Kitab Suci sehingga kita melihatnya sebagai peraturan kolot, usang dan menganggapnya pola pikir yang sempit.

Godaan untuk menjatuhkan pilihan pada pasangan yang tak seiman begitu besar, terlebih pada orang yang dikarunai penampilan menarik. Biasanya silih berganti lawan jenis yang melakukan pendekatan. Sadar akan rupa diri yang menarik, kita pun cenderung menetapkan kriteria-kriteria tinggi agar yang lolos benar-benar “berkualitas.” Atau harus memenuhi “3B” kelas satu – “Bibit-Bebet-Bobot.” Di sinilah Iblis bekerja dengan cerdiknya.

Dari syarat-syarat yang kita buat, tanpa sadar, kita lebih menekankan aspek-aspek duniawi, kriteria-kriteria lahiriah sehingga pikiran rohani kita dibutakan oleh Iblis yang menyamar sebagai malaikat terang. Kita menelan mentah-mentah pandangan publik-dunia bahwa pasangan pas seorang pemuda gagah-tampan adalah pemudi cantik-berparas ayu.

Pemuda elok membuat kriteria calon pasangannya harus putri “bersepatu kaca,” pemudi ayu membuat syarat harus pangeran “berkuda putih.” Kebetulan ada yang memenuhi kriteria tersebut, serta dikompori oleh teman-teman yang tak peduli pada aspek rohani, ketertarikan pun muncul, lalu menjalin hubungan meningkat ke jenjang berikutnya, yang tanpa kita sadari kita telah berada di pintu keluar kebun anggur Tuhan.

Atau bisa jadi kita telah lama menantikan datangnya seorang saudara seiman, tapi penantian tinggal penantian, belum ada tanda-tanda. Kita pun mulai tak sabar. Gelisah, mengingat usai terus merambat. Dan saat muncul seseorang menunjukkan ketertarikan, meski penampilan biasa-biasa saja, apalig menarik, kita langsung menyambar kesempatan itu karena sudah terlampau putus asa, tidak lagi peduli apakah ia seiman atau tidak.

Kita mengabaikan nasihat 2 Kor. 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Kita menganggapnya nasihat kolot, out of date! Kita melawan nasihat saudara seiman dan orangtua kita. Kita membantahnya dengan menyebut contoh-contoh yang mirip, atau peristiwa yang memang terjadi. Kita beralasan nanti bisa membawa pasangan yang tak seiman kita itu ke kerajaan-Nya. Namun apakah yakin pasti bisa membawanya ke gereja-Nya? Atau yang akan terjadi justru sebaliknya.

Raja Salomo mengatakan, “Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN.” (Ams. 19:14). Pasangan yang berakal budi dan seiman dapat kita mintakan kepada Tuhan, dalam doa. Akan tetapi seringkali kita tiak cukup sabar. Mungkin Tuhan sudah berkali-kali memperlihatkan pasangan hidup seiman di depan mata kita, tetapi kita menutup mata karena bersikeras pada kriteria sepihak dan pada kehendak sendiri. Kriteria-kriteria yang kita tetapkan mungkin saja tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Bisa jadi penantian akan pasangan jiwa yang seiman teramat lama karena daftar kriteria yang kita tetapkan teramat panjang. Ingat, apa yang baik di mata manusia belum tentu baik di mata Tuhan.

Berdoalah dengan tekun, berusaha di jalan-Nya. Allah itu kasih. Ia hanya memberikan apa yang baik bagi jiwa umat-Nya. Gunakanlah masa mudamu untuk berkarya sebaik mungkin di kebun anggur Tuhan. Tuhan akan menolongmu mendapatkan pasangan “yang baik” dan “yang dikenan Tuhan.” (Diadaptasi Warta Sejati, Edisi 59, 2008).

Musik Dalam Ibadah

Oleh Roy E. Cogdill

Musik punya tempat dan tujuan khusus dalam ibadah. Tempat dan tujuan ini telah ditetapkan oleh kuasa Ilahi. Di tempat dan tujuan itu kita harus mengenali pentingnya (1) Jenis musik yang diotoritaskan, (2) tujuan musik disediakan dan (3) tatacaranya.

Dalam kitab Efesus 5:19, “Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernya-nyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.” Dalam Kolose 3:16, “… dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.”

Hanya ada dua jenis musik, vocal dan instrument. Allah telah menen-tukan yang vocal. Pemakaian alat musik tidak diotoritaskan. Jenis lagu yang dinyanyikan komposisinya harus “bersifat rohani.”

Nyanyian dinaikkan sebagai pujian kepada Allah, bukan hiburan atau entertaiment. Allah tidak berkenan ketika musik dalam ibadah orang Kristen dimaksudkan menjadi usaha untuk menghibur. Tujuan musik bukan untuk menghibur publik, tapi memuji Allah.

Musik dalam ibadah dinyanyikan “dalam roh.” Dari Ef. 5:19 dan Kol. 3:16, kita belajar bahwa hati kita harus menyertai nyanyian itu, dengan sepenuh hati. Juga dinyanyikan “dengan akal budi.” Dalam 1 Kor. 14:15 dikatakan “... aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku.” Artinya kita perlu mempelajari arti lagu tersebut, kata-katanya dimengerti. Kita mengekspresikan-nya dalam kata, dan pastikan nyanyian itu sesuai dengan Kitab Suci.

Musik-nyanyian dalam ibadah harus dimengerti. “Berkata-katalah se-orang kepada yang lain” – (Ef. 5:19), “Mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani” – (Kol. 3:16).

Tujuan suci pujian hilang, kecuali liriknya selaras dengan Kitab Suci. Diucapkan dalam nyanyian secara cukup sederhana untuk dimengerti oleh pendengar. Mengajar dan menegur dilakukan dalam bernyanyi harus oleh lirik lagu-nyanyian, karena bunyi dan irama tidak mengajarkan apapun.

Perjanjian Baru memerintahkan umat-Nya bernyanyi, memuji dan ber-syukur kepada-Nya dalam pujian rohani. Kitab Suci tidak meng-otoritaskan jenis musik instrument dalam ibadah gereja, tapi vocal.

Saling mengajar dan menegurlah satu sama lain dalam kidung pujian seperti yang Ia kehendaki. Naikkanlah ucapan syukur kepada-Nya da-lam musik-nyanyian yang berkenan kepada-Nya. (*)

Keluarga Ideal Bukan Produk Instan

Oleh Marolop Simatupang

Persoalan keluarga, kini, makin kompleks. Banyak keluarga menghadapi berbagai persoalan. Pun keluarga Kristen, tidak terkecuali. Namun, hendaknya jangan putus harap untuk menggapai keluarga ideal. Keluarga panutan tidak jatuh dari langit, tidak terjadi dalam satu malam. Untuk mewujudkannya, semua anggota keluarga harus berperan aktif, terlebih kepala keluarga.

Dewasa ini, berbagai persoalan serius melanda keluarga-keluarga. Kasus perselingkuhan meningkat tajam. Kenakalan remaja dan kecanduan narkoba dianggap biasa. Remaja perempuan hamil di luar nikah bukan lagi aib. Tidak ada kepemimpinan yang kuat dalam keluarga, anak-anak kehilangan figur panutan dalam keluarga dianggap lumrah. Dan masih banyak lagi problem serius yang melanda keluarga.

Keluarga adalah pusat atensi Allah, demikian ditegaskan firman Tuhan. Institusi pertama yang ditetapkan Allah di muka bumi ini adalah keluarga – keluarga Adam dan Hawa. Mesias hadir di dunia ini secara personal melalui sebuah keluarga sakinah – keluarga Yusuf dan Maria. Yesus, dalam pelayanan-Nya, tanda ajaib pertama-Nya terjadi di tengah keluarga – di Kana. Istilah anak dan bapa, sapaan sehari-hari dalam komunikasi keluarga, dipakai dalam Alkitab. Lalu mengapa begitu jarang keluarga ideal di tengah masyarakat? Mengapa keluarga-keluarga, kini, justru terus didera masalah serius?

Setiap orang tentu ingin punya dan berada dalam keluarga ideal. Namun mewujudkan keluarga ideal ternyata tidak gampang. Untuk menggapainya, iman yang tangguh mutlak dibutuhkan. Keluarga, lembaga yang didirikan dan dibentuk oleh Allah; maka Ia harus selalu dilibatkan dalam keluarga. Artinya hal-hal yang rohani jangan diabaikan, tapi harus mewarnai hidup keluarga setiap saat. Dan yang terdepan dari keluarga dalam proses ini adalah ayah.

Ayah – Pemimpin Keluarga
Ayah, yang adalah kepala keluarga, memegang peranan kunci dalam hal ini. Perannya sangat krusial. Ia adalah “payung rohani” yang melindungi dan memayungi keluarga secara spiritual dari hujan “persoalan keluarga.” Kalau payung bocor, keluarga akan gampang diterjang “penyakit.”

Kepala keluarga juga harus menjadi imam dan pemimpin. Ia harus menjaga kesucian diri dan keluarga. Dalam membangun keluarga ideal, diperlukan fondasi yang kokoh, yaitu iman dan kesucian. Bila ini diabaikan, pemimpin dan keluarga akan mudah jatuh. Imam keluarga harus mendidik anak-anak dalam karakter kristiani serta menanamkan prinsip-prinsip hidup yang positif. Jika tidak, iblis akan mengambil-alih perannya.

Mungkin ada yang berkata, itu kalau ayah orang Kristen sejati. Bagaimana jika tidak? Mungkinkan ia menjalankan peran sebagai imam keluarga? Bila konteksnya demikian, fungsi imam bisa diserahkan pada ibu, atau anak, khususnya laki-laki yang sudah dewasa rohani.

Lalu bagaimana bila ayah dan ibu beda iman? Pluralitas keyakinan dalam keluarga memang bisa berdampak luas, karena nilai-nilai yang ditanamkan akan berbeda, dan ini kerap menciptakan split personality – kepribadian yang terbelah. Solusinya adalah ayah-ibu, bersama-sama menyepakati nilai-nilai tertinggi, yang harus dibangun dan menjadi patokan bersama.

Ibadah keluarga
Jika ayah berhasil menunjukkan tanggungjawabnya sebagai imam keluarga, maka sudah pasti ada ibadah keluarga (family devotion).

Ibadah keluarga adalah wujud komitmen keluarga terhadap Tuhan. Menciptakan ibadah keluarga sangat penting. Sebab melalui dan dalam ibadah, proses pembelajaran, komunikasi edukatif dan dorongan spiritual berlangsung. Dalam devosi singkat ini pujian, ucapan syukur dan doa dinaikkan.

Dampak positif ibadah keluarga, banyak. Untuk diri sendiri, imam, – ayah dapat merasakan bahwa dirinya adalah pribadi yang bertangggung jawab. Terhadap isteri dan anak, – mereka akan bangga punya pemimpin yang setia. Selain itu, kerukunan dalam keluarga tercipta – keluarga makin harmonis dan solid. Ibadah keluarga juga memperkuat iman, dan suasan nyaman dan menyejukkan tercipta dalam keluarga.

Perlu dicatat, ibadah keluarga yang dimaksud bukan artifisial dan ritualistik belaka, bukan rutinitas, tapi harus diamalkan. Sebab, ritual dan ibadah keluarga minus aplikasi nyata adalah kosong, tidak membawa sesuatu yang lebih baik.

Devosi keluarga ini juga berdampak sosial positif bagi keluarga dan masyarakat. Antara lain fondasi iman keluarga makin kuat, serta menjadi teladan bagi khalayak. Untuk tujuan inilah peran ayah sangat dominan. Ia bukan hanya menjadi tulang punggung keluarga – ekonomi keluarga – tapi juga untuk menanamkan nilai-nilai kristiani, sosial dan keutuhan keluarga, tentu bersama isteri. Nilai-nilai itu mutlak dan harus ada dalam keluarga. Sebab, keluarga tanpa nilai-nilai tersebut adalah keluarga tanpa fondasi, rapuh, dan akan terombang-ambing di tengah “lautan” hidup sosial.

Mengapa Keluarga Ideal?
Dalam pemahaman sosiologis, keluarga adalah ikatan kelompok utama antara laki-laki dan perempuan. Kemudian kelompok primer dalam tatanan masyarakat ini melahirkan proses reproduksi dan kulturasi, yaitu proses nilai-nilai untuk kepentingan sosialisasi keluarga tersebut.

Jika sebuah keluarga mengalami kehancuran, maka efek sosialnya sangat besar, karena nilai-nilai sosial pertama kali disampaikan dan ditanamkan kepada individu melalui keluarga. Apabila keluarga-keluarga hancur, masyarakat bisa ikut hancur, sebab keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Dan sebaliknya, jika makin banyak keluarga ideal tercipta, makin baik pula kualitas kehidupan sosial dan moralitas masyarakat; ketenteraman dan kedamaian negara pun tercipta dengan sendirinya.

Oleh sebab itu, menciptakan keluarga ideal harus menjadi tujuan utama keluarga. Keluarga Kristen harus menjadi pioner dan terdepan dalam hal ini. Butuh waktu, pengorbanan dan komitmen untuk mewujudkannya. Semua individu harus terlibat, terutama ayah. Keluarga ideal adalah keluarga standar ilahi. (*)

Kekang Amarahmu

Oleh Marolop Simatupang
Rata Penuh
Banyak orang mudah naik darah dan bertemperamen panas, gampang marah. Banyak yang beralasan karena sudah sifatnyas seperti itu, tak bisa dirobah. Marah adalah salah satu dari sifat emosionil manusia. Lumrah bila manusia marah. Namun menjadi malapetaka bila amarah tak bisa dikekang. Amarah semacam ini bisa menggelembung dan berpusar tak terkendali.

Mereka yang membiarkan dirinya dikuasai oleh amarah menimbulkan masalah bagi diri sendiri dan orang lain. Di rumah, anggota keluarga yang tak bisa mengendalikan emosi amarahnya bisa menciptakan lingkaran setan bagi keluarga. Anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di rumah semacam ini jadi diperbudak dalam pemikiran salah kaprah bahwa amarah tak terkendali adalah perilaku yang dapat diterima.

Mungkin orang yang tak bisa mengekang amarahnya merasa puas karena perilakunya bisa memberikan apa yang dia inginkan, walaupun hanya sementara. Juga merasa puas karena bisa menumpahkan seluruh emosinya dengan cara yang negatif.

Amarah – Perbuatan Daging
Menurut Kitab Suci, “amarah” adalah “perbuatan daging,” (Gal. 5:19-21), yang dikelompokkan bersama “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora, dan sebagainya ....”

Semua “perbuatan daging” adalah dosa. Bila dibiarkan, menghasilkan maut. Namun pemahaman sebagian orang tentang amarah, yang ditempatkan dalam kategori yang sama dengan pembunuhan, penyembahan berhala, dsb, adalah dosa tidak jelas, abu-abu. Kadang pemahaman amarah adalah dosa atau tidak diserahkan pada penentuan masing-masing. Ada yang membuat kategori amarah dosa dan amarah tidak dosa, mirip-mirip bohong putih dan bohong hitam. Tetapi kita yang percaya pada Kristus dengan sepenuh hati tahu bahwa dengan nama apa pun disebut, dosa tetaplah dosa di dalam Buku Ilahi.

Melatih Pengendalian Diri – Penting
Kita tahu bahwa kita bertanggung-jawab pada perilaku hidup kita masing-masing. Artinya kitalah yang pertama kali yang semestinya mengendalikan emosi kita. Adalah tidak elok bila kita bisanya hanya menyalahkan orang lain ketika kita naik darah, amarah meledak. Bagaimana pun kesal atau dongkolnya hati karena ulah orang lain, kitalah yang bertanggung-jawab pada emosi kita dan mengendalikannya.

Peperangan rohani dimainkan di panggung teater kehidupan sehari-hari di mana kata-kata dan tindakan mencerminkan karakter yang sesungguhnya. Setiap kali kita terlalu emosional akan seseuatu hal, setiap kali kita menyerah pada ledakan amarah, kita mengalami satu lagi kegagalan pertempuran rohani. Contohnya, ketika kita marah, otak kita macet dan mulut terbuka. Kata-kata menyakitkan berhamburan dari lidah kita.

Penulis Kitab Yakobus mengatakan, lida sesuatu “yang buas, yang tak terkuasai dan penuh racun yang mematikan ... dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk.” (Yak. 3:8-10). Mestinya dari mulut kita yang keluar adalah berkat, kata-kata yang menyejukkan. Untuk itulah kita perlu belajar mengendalikan organ tubuh “yang tak terkuasai” itu agar tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Dan pada saat yang sama kita pun belajar mengendalikan amarah kita.

Amarah yang dikendalikan akan berdampak positif luar biasa pada diri sendiri dan orang lain. Tidak ada lagi kata-kata menyakitkan meluncur dari lidah kita. Tak ada lagi perkakas dapur beterbangan dari tangan kita. Amarah yang dikekang bisa mengurangi kerugian moril dan materil.

Belajarlah mengendalikan amarah, dan lebih efektiflah mencegahnya agar tidak menggelembung dan berpusar tak terkendali. Kekang amarahmu!

Finansial Gereja

Oleh Roy E. Cogdill

Gereja Tuhan diikut-sertakan dalam misi besar surga –menyelamatkan orang berdosa. Dalam melaksanakan dan mendanai pekerjaan gereja tentu uang mutlak diperlukan. Karena itulah penggunaan uang dan kontribusi yang tepat menjadi tema krusial dalam Perjanjian Baru.

Dosa pertama di jemaat di Yerusalem yang diceritakan kepada kita adalah “kecurangan” Ananias dan Safira dalam hal memberikan “korban” kepada Allah (Kis. 5:1-2). Sebuah contoh yang tidak baik!

Seperti dalam rencana lainnya, Allah telah meletakkan hukum yang menjadi pedoman; agar rencana-Nya itu dilakukan dengan komitmen penuh. Kewajiban setiap orang Kristen adalah menaati semua peratu-ran yang telah Ia tetapkan. Kewajiban adalah pribadi. Kita harus melaksanakan rencana dan rencana itu akan berjalan.

Diberikan prinsip-prinsip umum untuk mengatur financial gereja. Antara lain bahwa setiap orang Kristen adalah bendahara. Maksudnya orang Kristen adalah “manager keuangan” pribadi dalam berkat-berkat yang Ia karuniakan kepada umat-Nya.

Setiap pribadi dituntut untuk menggunakannya dengan bijak, serta mengembalikan kepada-Nya dalam persembahan seperti yang telah diatur dalam firman-Nya. Maka pertanyaan yang perlu kita jawab dan renungkan adalah sudahkan saya menjadi bendahara yang baik bagi Tuhan?

Prinsip penting lain yang dicatat dalam Buku-Nya adalah bahwa setiap pribadi dituntut untuk berpartisipasi dalam misi gereja. Dikatakan “hendaklah kamu masing-masing” (2 Kor. 8:12) “memberi” sesuai de-ngan apa yang kamu peroleh. Kemampuan pribadi adalah dasar tanggung-jawab pribadi. Maka peran dan partisipasi “masing-masing” akan meringankan beban bersama. Seseorang tidak dapat berada dalam “persektuan penuh” sampai dia melakukan bagiannya.

Mengapa harus berpartisipasi? Karena setiap orang Kristen adalah mu-rid –murid Yesus. Seorang murid menunjukkan tanggungjawabnya de-ngan pengorbanan diri. Dalam konteks financial gereja, Yesus menun-tut pengorbanan pribadi murid-murid-Nya, yang dalam hal ini berarti setiap orang Kristen harus memberi. Bukan sekadar memberi, melainkan memberi dengan limpahnya.

Memberi harus disertai dengan kasih dan sukarela. Maksudnya mem-beri bukan karena terpaksa –“... jangan dengan sedih hati atau karena paksaan;” (2 Kor. 9:7), penuh tujuan, sistematik dan terencana.

Memberi dengan limpahnya akan membuka pintu ke dalam rahmat dan berkat Allah bagi mereka yang melakukannya. Ini membantu kita agar kaya dalam kemurahan. Dia yang percaya pada janji-janji Allah akan memberi dengan murah hati tanpa rasa takut akan menderita karena melakukannya –memberi kepada-Nya. (*)