Oleh Marolop Simatupang
Menyusul penahanan oleh kepolisian terhadap dua unsur pimpinan (non-aktif) Komisi Pemberantas [an] Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (telah ditangguhkan) dan kontroversi seputar rekaman kriminalisasi KPK yang diduga melibatkan oknum petinggi Polri dan beberapa jaksa, berbagai elemen masyarakat, aktivis anti-korupsi, para mahasiswa serta sejumlah organisasi non-pemerintah meminta agar kepolisian dan kejaksaan direformasi segera.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), antara lain Imparsial, Indonesia Police Watch, Transparency International Indonesia (TII), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, dan Elsam, pekan lalu, menyampaikan permintaan tersebut kepada pemerintah melalui Tim Independen Verifikasi dan Proses Hukum Pimpinan (non-aktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan serta melakukan reformasi menyeluruh di lembaga penegak hukum tersebut.
Permintaan sejumlah LSM tersebut tepat mewakili harapan masyarakat luas saat ini. Publik mengharapkan pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY segera mengambil langkah-langkah signifikan terhadap penyelesaian kasus yang menyedot perhatian umum tersebut. Disamping itu, kasus yang melibatkan institusi yang kedudukannya berada di bawah Presiden ini harus menjadi momentum yang baik untuk melakukan reformasi di kedua institusi hamba wet tersebut. Sebab bukan kali ini saja lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, disibukkan oleh ulah tak elok oknumnya sendiri.
Masih segar diingatan publik bagaimana tertangkap-tangannya Urip Tri Gunawan, jaksa yang menangani kasus BLBI, beserta beberapa jaksa senior lainnya dalam kasus suap oleh Artalyta Suryani. Lalu ada jaksa yang terlibat kasus penyalahgunaan barang bukti narkoba. Dan yang terkini, kasus kriminalisasi dua unsur pimpinan non-aktif KPK yang diduga melibatkan beberapa jaksa senior di kejaksaan dan petinggi Polri.
Setali tiga uang dengan kepolisian. Tidak asing lagi membaca dan mendengar warta di media massa cetak dan elektronik betapa seringnya oknum kepolisian terlibat tindak kriminal, melakukan tindakan represif terhadap masyarakat-sipil, serta menginterogasi orang, yang diduga melakukan kejahatan, dengan kekerasan.
Bukan bermaksud menghakimi dan mengkriminalisasi lembaga penegak hukum ini serta menyimpulkan institusi tersebut sudah bobrok hanya karena “nila setitik” dan ulah negatif beberapa oknumnya. Namun, menelisik dan melihat apa yang telah dan sedang terjadi di sekitar lembaga hukum tersebut dari kacamata masyarakat umum, bahwa reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan saat ini sangat mendesak, harus segera dilakukan. Bukan hanya di luarnya saja, apalagi sebatas wacana, tapi menyeluruh pada tingkat struktural, manajemen, jajaran personel serta pada tingkat kultur. Tidak cukup hanya reposisi atau mengganti pucuk pimpinan. Tapi juga harus menjatuhkan sanksi tegas kepada oknum yang menciderai hukum dan rasa keadilan.
Berbagai kalangan menilai, kondisi organisasi di tubuh kepolisian, terutama dalam konteks sifat dan perilaku masih bersifat militeristik, dan cenderung arogan. Sementara lembaga kejaksaan, alih-alih menjadi garda peradilan dan tempat masyarakat mencari keadilan, justru menjadi tempat terjadinya makelar kasus dan para mafia peradilan leluasa bergerak mempermainkan hukum.
Kini bukan rahasia lagi di khalayak umum bahwa betapa sulitnya mencari keadilan di negeri ini tanpa uang dan kongkalikong dengan orang berkuasa, dengan oknum penegak hukum. Pasal-pasal hukum kadang hanya berlaku kepada orang tak berpunya. Namun bagi orang berada dan punya “hubungan dekat” dengan “orang dalam” penegak hukum pasal-pasal tersebut dibuat ompong.
Reformasi total di tubuh kepolisian dan institusi kejaksaan serta tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang melanggar hukum dan menyalahgunakan wewenang tidak boleh tidak harus segera dilakukan. Jika tidak, dikhawatirkan akan memunculkan ketidak-percayaan masyarakat (public distrust) pada fungsi lembaga negara dan institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan yang sama-sama berwenang menegakkan hukum.
Saat ini, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, terutama kepolisian, tipis. Hampir semua masyarakat pernah merasakan betapa jika berhadapan dengan aparat kepolisian pasti ujungnya duit. Bila kondisi ini tidak segera dipulihkan, dan diperbaiki, dikhawatirkan nanti semua elemen masyarakat kompak menjadikan lembaga kepolisian dan kejaksaan musuh bersama. Bila itu sampai terjadi, gawatlah kesehatan demokrasi di negeri tercinta ini.
====================================================================
Menyusul penahanan oleh kepolisian terhadap dua unsur pimpinan (non-aktif) Komisi Pemberantas [an] Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (telah ditangguhkan) dan kontroversi seputar rekaman kriminalisasi KPK yang diduga melibatkan oknum petinggi Polri dan beberapa jaksa, berbagai elemen masyarakat, aktivis anti-korupsi, para mahasiswa serta sejumlah organisasi non-pemerintah meminta agar kepolisian dan kejaksaan direformasi segera.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), antara lain Imparsial, Indonesia Police Watch, Transparency International Indonesia (TII), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, dan Elsam, pekan lalu, menyampaikan permintaan tersebut kepada pemerintah melalui Tim Independen Verifikasi dan Proses Hukum Pimpinan (non-aktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan serta melakukan reformasi menyeluruh di lembaga penegak hukum tersebut.
Permintaan sejumlah LSM tersebut tepat mewakili harapan masyarakat luas saat ini. Publik mengharapkan pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY segera mengambil langkah-langkah signifikan terhadap penyelesaian kasus yang menyedot perhatian umum tersebut. Disamping itu, kasus yang melibatkan institusi yang kedudukannya berada di bawah Presiden ini harus menjadi momentum yang baik untuk melakukan reformasi di kedua institusi hamba wet tersebut. Sebab bukan kali ini saja lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, disibukkan oleh ulah tak elok oknumnya sendiri.
Masih segar diingatan publik bagaimana tertangkap-tangannya Urip Tri Gunawan, jaksa yang menangani kasus BLBI, beserta beberapa jaksa senior lainnya dalam kasus suap oleh Artalyta Suryani. Lalu ada jaksa yang terlibat kasus penyalahgunaan barang bukti narkoba. Dan yang terkini, kasus kriminalisasi dua unsur pimpinan non-aktif KPK yang diduga melibatkan beberapa jaksa senior di kejaksaan dan petinggi Polri.
Setali tiga uang dengan kepolisian. Tidak asing lagi membaca dan mendengar warta di media massa cetak dan elektronik betapa seringnya oknum kepolisian terlibat tindak kriminal, melakukan tindakan represif terhadap masyarakat-sipil, serta menginterogasi orang, yang diduga melakukan kejahatan, dengan kekerasan.
Bukan bermaksud menghakimi dan mengkriminalisasi lembaga penegak hukum ini serta menyimpulkan institusi tersebut sudah bobrok hanya karena “nila setitik” dan ulah negatif beberapa oknumnya. Namun, menelisik dan melihat apa yang telah dan sedang terjadi di sekitar lembaga hukum tersebut dari kacamata masyarakat umum, bahwa reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan saat ini sangat mendesak, harus segera dilakukan. Bukan hanya di luarnya saja, apalagi sebatas wacana, tapi menyeluruh pada tingkat struktural, manajemen, jajaran personel serta pada tingkat kultur. Tidak cukup hanya reposisi atau mengganti pucuk pimpinan. Tapi juga harus menjatuhkan sanksi tegas kepada oknum yang menciderai hukum dan rasa keadilan.
Berbagai kalangan menilai, kondisi organisasi di tubuh kepolisian, terutama dalam konteks sifat dan perilaku masih bersifat militeristik, dan cenderung arogan. Sementara lembaga kejaksaan, alih-alih menjadi garda peradilan dan tempat masyarakat mencari keadilan, justru menjadi tempat terjadinya makelar kasus dan para mafia peradilan leluasa bergerak mempermainkan hukum.
Kini bukan rahasia lagi di khalayak umum bahwa betapa sulitnya mencari keadilan di negeri ini tanpa uang dan kongkalikong dengan orang berkuasa, dengan oknum penegak hukum. Pasal-pasal hukum kadang hanya berlaku kepada orang tak berpunya. Namun bagi orang berada dan punya “hubungan dekat” dengan “orang dalam” penegak hukum pasal-pasal tersebut dibuat ompong.
Reformasi total di tubuh kepolisian dan institusi kejaksaan serta tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang melanggar hukum dan menyalahgunakan wewenang tidak boleh tidak harus segera dilakukan. Jika tidak, dikhawatirkan akan memunculkan ketidak-percayaan masyarakat (public distrust) pada fungsi lembaga negara dan institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan yang sama-sama berwenang menegakkan hukum.
Saat ini, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, terutama kepolisian, tipis. Hampir semua masyarakat pernah merasakan betapa jika berhadapan dengan aparat kepolisian pasti ujungnya duit. Bila kondisi ini tidak segera dipulihkan, dan diperbaiki, dikhawatirkan nanti semua elemen masyarakat kompak menjadikan lembaga kepolisian dan kejaksaan musuh bersama. Bila itu sampai terjadi, gawatlah kesehatan demokrasi di negeri tercinta ini.
====================================================================
Telah dimuat di situs KabarIndonesia,
dan Majalah Forum Keadilan Edisi November 2009
dan Majalah Forum Keadilan Edisi November 2009