Oleh Marolop Simatupang
Pada zaman kolonial Belanda puluhan tahun yang silam, menurut kisah, banyak orang Batak yang berjuang melawan penjajah dengan tangan kosong. Mereka melawan kompeni dengan keahlian beladiri khas Batak yang disebut Moncak (baca: Mossak) Batak.
Menurut cerita para orangtua dan manuskrip Batak kuno (laklak), para jagoan beladiri Batak tersebut konon memiliki keahlian dan keistimewaan tersendiri, seperti tidak mempan senjata tajam (sajam), bisa meloncat jauh, berlari dengan kencang, bahkan kebal terhadap timah panas dari bedil-bedil penjajah.
Ilmu dan jurus para ahli Moncak zaman dahulu bervariasi. Ada Moncak jurus bodat (monkey), jurus alogo (wind), jurus udan (rain), dan yang paling kesohor jurus harimo (tiger). Dan masih banyak lagi jurus Moncak Batak yang sangat ditakuti oleh penjajah pada saat itu. Jurus-jurus tersebut nampak dari gerakan-gerakan para Parmoncak (pemain Moncak) pada saat unjuk kebolehan, atau ketika bertarung melawan musuh.
Di samping itu, para ahli beladiri khas Batak itu juga ceritanya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Dengan ramuan-ramuan tradisional, semacam herbal atau jamu-jamuan sekarang, mereka membantu sesama yang sakit, atau menolong rekan-rekan seperjuangan mereka yang terluka di medan laga. Semakin tinggi ilmu atau jurus-jurus yang dimiliki seorang Parmoncak, semakin banyak penyakit yang bisa disembuhkan. Parmoncak yang sudah ahli itu disebut Guru Moncak, dalam bahasa sekarang Suhu (master).
Namun kini, jarang kita mendengar atau membaca tentang Moncak Batak. Budaya beladiri turun temurun itu telah tersisih oleh perkembangan zaman, serta seiring muncul dan berkembangnya berbagai jenis olahraga beladiri modern seperti kara-te, taek-won-do, kung-fu, pencak silat, dan sebagainya. Pada hal, kalau diperhatikan dengan saksama, gerakan-gerakan olahraga Pencak Silat hampir mirip dengan Moncak Batak.
Moncak Batak pun kini terancam tinggal sejarah. Olahraga khas Batak yang juga menjadi salah satu dari kekayaan budaya Indonesia ini pudar selain karena suhu-suhunya telah meninggal juga karena minimnya generasi muda yang melek budaya lokal, khususnya dari pihak halak hita (untuk menyebut orang kita Batak) yang mengembangkannya sehingga tidak ada yang meneruskan (mengajarkan) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sejatinya, kalau dicari, pasti banyak orang Batak yang tinggal di Bona Pasogit (Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitaran Kabupaten Toba Samosir) atau mungkin juga yang tinggal di perantauan, yang, paling tidak, masih bisa memperagakan Moncak Batak ini, namun enggan unjuk kebolehan karena parmoncak di masa lalu identik dengan kekerasan.
Ada baiknya, dengan kemasan seni budaya, olahraga beladiri bernilai tinggi ini dipromosikan untuk tujuan pengenalan budaya lokal dan menghibur. Dan kelak bisa diandalkan menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara agar berkunjung ke Indonesia, khususnya ke Tano Batak (Tanah Batak).***
(Telah dimuat di situs: bersamatoba.com, kabarindonesia.com
Pada zaman kolonial Belanda puluhan tahun yang silam, menurut kisah, banyak orang Batak yang berjuang melawan penjajah dengan tangan kosong. Mereka melawan kompeni dengan keahlian beladiri khas Batak yang disebut Moncak (baca: Mossak) Batak.
Menurut cerita para orangtua dan manuskrip Batak kuno (laklak), para jagoan beladiri Batak tersebut konon memiliki keahlian dan keistimewaan tersendiri, seperti tidak mempan senjata tajam (sajam), bisa meloncat jauh, berlari dengan kencang, bahkan kebal terhadap timah panas dari bedil-bedil penjajah.
Ilmu dan jurus para ahli Moncak zaman dahulu bervariasi. Ada Moncak jurus bodat (monkey), jurus alogo (wind), jurus udan (rain), dan yang paling kesohor jurus harimo (tiger). Dan masih banyak lagi jurus Moncak Batak yang sangat ditakuti oleh penjajah pada saat itu. Jurus-jurus tersebut nampak dari gerakan-gerakan para Parmoncak (pemain Moncak) pada saat unjuk kebolehan, atau ketika bertarung melawan musuh.
Di samping itu, para ahli beladiri khas Batak itu juga ceritanya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Dengan ramuan-ramuan tradisional, semacam herbal atau jamu-jamuan sekarang, mereka membantu sesama yang sakit, atau menolong rekan-rekan seperjuangan mereka yang terluka di medan laga. Semakin tinggi ilmu atau jurus-jurus yang dimiliki seorang Parmoncak, semakin banyak penyakit yang bisa disembuhkan. Parmoncak yang sudah ahli itu disebut Guru Moncak, dalam bahasa sekarang Suhu (master).
Namun kini, jarang kita mendengar atau membaca tentang Moncak Batak. Budaya beladiri turun temurun itu telah tersisih oleh perkembangan zaman, serta seiring muncul dan berkembangnya berbagai jenis olahraga beladiri modern seperti kara-te, taek-won-do, kung-fu, pencak silat, dan sebagainya. Pada hal, kalau diperhatikan dengan saksama, gerakan-gerakan olahraga Pencak Silat hampir mirip dengan Moncak Batak.
Moncak Batak pun kini terancam tinggal sejarah. Olahraga khas Batak yang juga menjadi salah satu dari kekayaan budaya Indonesia ini pudar selain karena suhu-suhunya telah meninggal juga karena minimnya generasi muda yang melek budaya lokal, khususnya dari pihak halak hita (untuk menyebut orang kita Batak) yang mengembangkannya sehingga tidak ada yang meneruskan (mengajarkan) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sejatinya, kalau dicari, pasti banyak orang Batak yang tinggal di Bona Pasogit (Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitaran Kabupaten Toba Samosir) atau mungkin juga yang tinggal di perantauan, yang, paling tidak, masih bisa memperagakan Moncak Batak ini, namun enggan unjuk kebolehan karena parmoncak di masa lalu identik dengan kekerasan.
Ada baiknya, dengan kemasan seni budaya, olahraga beladiri bernilai tinggi ini dipromosikan untuk tujuan pengenalan budaya lokal dan menghibur. Dan kelak bisa diandalkan menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara agar berkunjung ke Indonesia, khususnya ke Tano Batak (Tanah Batak).***
(Telah dimuat di situs: bersamatoba.com, kabarindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Beri Komentar atau Kritik Membangun