Senin, 12 April 2010

Pencobaan Cinta, Mencari Jodoh

Oleh Marolop Simatupang

Sebagai umat Tuhan, entah masih muda atau tua, kita pasti pernah menghadapi pencobaan. Ketika masih kecil mungkin pernah tergoda untuk mencuri uang orangtua guna membeli mainan. Menginjak remaja dan masa puber, mulai menjadi pemberontak pada orangtua, tidak mau mendengar nasihat, dan mulai tergoda pada lawan jenis.

Di bangku kuliah kita menghadapi godaan pergaulan bebas yang kerap menjerusmuskan ke lembah kelam, makin tergoda oleh daya pikat lawan jenis. Stelah menikah, kita menghadapi godaan perselingkuhan, tergodaoleh “rumput tetangga yang lebih hijau.”

Benar bahwa kita hanyalah manusia biasa, yang punya kelemahan dan sering jatuh oleh pencobaan iblis. Namun itu bukan alasan yang bijak untuk tidak bangkit dan melakukan pembaruan diri secara rohani. Kelemahan tersebut jangan dijadikan solusi pembenaran diri bila jatuh ke dalam pencobaan.

Seperti Simson, yang jatuh oleh sesuatu yang menurutnya sepele, kita juga bisa tersungkur oleh hal-hal yang menurut kita sepele, masalah kecil, yang tanpa kita sadari ternyata mengarahkan hidup kita pada kehancuran.

Ketika masih muda dan single, pikiran kita tersita oleh perkara mencari pasangan hidup. Itu wajar mengingat pernikahan adalah salah satu momen penting dalam hidup dan berpengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Namun dalam proses pencarian “soul-mate” ini, jangan sampai kita terperdaya oleh paras lahiriah belaka, hanya menuruti perasaan suka, mengabaikan apsek rohani sehingga nilai-nilai iman dan kekristenan terpinggirkan.

Mungkin masa pencarian tersebut menurut kita teramat panjang, melelahkan. Bahkan bisa melemahkan iman. Karena belum menemukan lawan jenis yang disukai dan seiman, lalu kita memutuskan untuk menjalin hubungan dengan orang yang tidak seiman. Untuk membenarkan keputusan itu kita pun membuat alasan-alasannya, antara lain dari tidak adanya lawan jenis yang cocok di gereja, masalah idealisme, tak ada yang memenuhi kriteria yang tak berujung itu, sampai alasan penginjilan. Pada hal, lawan jenis yang berperawakan “sempurna,” berada, sangat romantis, dsb, bisa digunakan Iblis untuk menggoda kita keluar dari Ladang Tuhan, dengan cara menanamkan dalam pikiran bahwa pasangan kita lebih penting daripada Tuhan dan Gereja-Nya. Si Penggoda itu juga bisa memengaruhi sudut pandang kita terhadap nasihat-nasihat Kitab Suci sehingga kita melihatnya sebagai peraturan kolot, usang dan menganggapnya pola pikir yang sempit.

Godaan untuk menjatuhkan pilihan pada pasangan yang tak seiman begitu besar, terlebih pada orang yang dikarunai penampilan menarik. Biasanya silih berganti lawan jenis yang melakukan pendekatan. Sadar akan rupa diri yang menarik, kita pun cenderung menetapkan kriteria-kriteria tinggi agar yang lolos benar-benar “berkualitas.” Atau harus memenuhi “3B” kelas satu – “Bibit-Bebet-Bobot.” Di sinilah Iblis bekerja dengan cerdiknya.

Dari syarat-syarat yang kita buat, tanpa sadar, kita lebih menekankan aspek-aspek duniawi, kriteria-kriteria lahiriah sehingga pikiran rohani kita dibutakan oleh Iblis yang menyamar sebagai malaikat terang. Kita menelan mentah-mentah pandangan publik-dunia bahwa pasangan pas seorang pemuda gagah-tampan adalah pemudi cantik-berparas ayu.

Pemuda elok membuat kriteria calon pasangannya harus putri “bersepatu kaca,” pemudi ayu membuat syarat harus pangeran “berkuda putih.” Kebetulan ada yang memenuhi kriteria tersebut, serta dikompori oleh teman-teman yang tak peduli pada aspek rohani, ketertarikan pun muncul, lalu menjalin hubungan meningkat ke jenjang berikutnya, yang tanpa kita sadari kita telah berada di pintu keluar kebun anggur Tuhan.

Atau bisa jadi kita telah lama menantikan datangnya seorang saudara seiman, tapi penantian tinggal penantian, belum ada tanda-tanda. Kita pun mulai tak sabar. Gelisah, mengingat usai terus merambat. Dan saat muncul seseorang menunjukkan ketertarikan, meski penampilan biasa-biasa saja, apalig menarik, kita langsung menyambar kesempatan itu karena sudah terlampau putus asa, tidak lagi peduli apakah ia seiman atau tidak.

Kita mengabaikan nasihat 2 Kor. 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Kita menganggapnya nasihat kolot, out of date! Kita melawan nasihat saudara seiman dan orangtua kita. Kita membantahnya dengan menyebut contoh-contoh yang mirip, atau peristiwa yang memang terjadi. Kita beralasan nanti bisa membawa pasangan yang tak seiman kita itu ke kerajaan-Nya. Namun apakah yakin pasti bisa membawanya ke gereja-Nya? Atau yang akan terjadi justru sebaliknya.

Raja Salomo mengatakan, “Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN.” (Ams. 19:14). Pasangan yang berakal budi dan seiman dapat kita mintakan kepada Tuhan, dalam doa. Akan tetapi seringkali kita tiak cukup sabar. Mungkin Tuhan sudah berkali-kali memperlihatkan pasangan hidup seiman di depan mata kita, tetapi kita menutup mata karena bersikeras pada kriteria sepihak dan pada kehendak sendiri. Kriteria-kriteria yang kita tetapkan mungkin saja tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Bisa jadi penantian akan pasangan jiwa yang seiman teramat lama karena daftar kriteria yang kita tetapkan teramat panjang. Ingat, apa yang baik di mata manusia belum tentu baik di mata Tuhan.

Berdoalah dengan tekun, berusaha di jalan-Nya. Allah itu kasih. Ia hanya memberikan apa yang baik bagi jiwa umat-Nya. Gunakanlah masa mudamu untuk berkarya sebaik mungkin di kebun anggur Tuhan. Tuhan akan menolongmu mendapatkan pasangan “yang baik” dan “yang dikenan Tuhan.” (Diadaptasi Warta Sejati, Edisi 59, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Beri Komentar atau Kritik Membangun