Kamis, 16 April 2009

Pelaksanaan dan Kualitas Pemilu Legislatif 2009 Anjlok

Hajatan demokrasi bertajuk Pemilihan Umum Legislatif telah rampung. Pesta pengumpulan suara warga untuk memilih wakil rakyat yang dikomandoi KPU ini meninggalkan catatan “prestasi” yang layak dikritisi.

Banyak kalangan dan pengamat politik menilai pelaksanaan pemilu kali ini jauh dari memuaskan. Bukan hanya pesta demokrasi lima tahunan ini dinilai bakal kurang legitimasinya tapi juga calon-calon legislator yang terpilih nantinya kurang berkualitas.

Berbagai kritik, unek-unek dan komentar pedas terhadap KPU mewarnai media massa cetak dan elektronik. Kinerja buruk KPU dinilai memberi kontribusi pada kurang memuaskannya kualitas dan pelaksanaan pemilu kali ini. Angka golput pemilu 2009 ini diprediksi akan meningkat dibanding pemilu tahun 2004 yang “hanya” mencapai 23, 34 persen.

Banyaknya pelanggaran pemilu 2009 yang bersifat merata ke seluruh wilayah Indonesia dengan pola yang hampir sama membuat pelaksanaan dan kualitas pemilu kali ini anjlok. Pelaksanaan pemilu 2009 dinilai berjalan mundur dari pemilu 2004. Pelanggaran pemilu yang paling kentara adalah antara lain nama pemilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), pemilih tidak mendapat surat undangan untuk memilih, dan manipulasi suara.

Menyusul banyaknya persoalan yang muncul, baik sebelum maupun pada hari pemungutan suara membuat penyelenggaraan pemilu kali ini terkesan kurang lancar. Kekisruhan dan kesemrawutan DPT menyebabkan sebagian besar warga tak bisa menggunakan hak pilih, dan “dipaksa” golput. Hilangnya hak pilih ini mengakibatkan persoalan dalam hal legitimasi caleg yang terpilih nantinya sebab bukan dipilih oleh mayoritas rakyat.

Kekacauan DPT ini sangat disesalkan. Ini membuat pesta demokrasi yang berongkos mahal ini tidak berjalan dengan sebenarnya. Hilangnya hak warga negara untuk memilih merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak politik warga negara.

Kesemrawutan DPT tersebut bukan hanya berimplikasi pada soal hak politik rakyat, hak untuk memilih, tapi juga pemborosan anggaran. Surat suara yang telah dicetak sebanyak jumlah calon pemilih ternyata tidak kepake semua. Cermin politik-demokrasi permisif yang belum berpihak pada rakyat kecil karena mengijinkan pemborosan keuangan negara sambil membiarkan warga lain sekarat dan meninggal karena kelaparan.

Karut-marut data pemilih tersebut juga menjadi cermin betapa data administrasi kependudukan di negeri kita ini masih sangat buruk. Setiap warga diwajibkan memiliki identitas diri yang jelas seperti KTP dan kartu keluarga. Namun pada saat pemilu warga yang punya identitas lengkap, jelas, dan punya hak pilih tidak bisa menggunakan haknya.

Mayoritas warga yang tidak terdaftar dalam DPT merasa sangat diabaikan oleh negara. Banyak kalangan warga mengkritik KPU karena telah memasung hak pilih rakyat. KPU berikut segenap aparat pelaksana pemilu dinilai tidak serius dalam mendata pemilih. Tidak sedikit orang yang telah meninggal atau bocah di bawah umur malah tercatat dalam DPT. Banyak warga yang pada pemilu 2004 terdaftar tetapi dalam pemilu 2009 tidak. Dengan kondisi seperti itu di mana banyak warga yang kehilangan hak pilih, “dipaksa” golput, kecewa, apakah pemilu kita kali ini masih layak dinilai berkualitas?

Selain DPT yang semrawut, pemilu kali ini juga tercoreng oleh banyaknya surat suara tertukar yang terjadi hampir merata di berbagai wilayah daerah pemilihan. Surat suara yang nyasar paling banyak terjadi di Lampung, kemudian Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara.

Sementara itu pelanggaran administrasi pemilu juga banyak. Laporan pelanggaran administrasi pemilu yang diterima badan pengawas pemilu (Bawaslu) sebanyak 363 kasus. Paling banyak ditemukan di Lampung, yakni sebanyak 79 kasus, diikuti Sulawesi Tenggara, 68 kasus, Jawa Tengah 62 kasus, Nusa Tenggara Barat 36 kasus, Kalimantan Tengah 28 kasus, Riau 25 kasus, Jawa Barat 23 kasus, Maluku 21 kasus dan Maluku Utara 21 kasus.

Kesalahan distribusi logistik mencapai 101 kasus. 75 kasus pidana dan berbagai kasus lainnya seperti politik uang, proses pemungutan suara ditutup sebelum waktunya dan penyalahgunaan kekuasaan. Bawaslu mencatat ada 549 kasus pelanggaran pemilu yang dilaporkan warga dan parpol ke panitia pengawas pemilu (Panwaslu) tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Pelaksanaan pemilu yang terkesan kurang lancar kali ini tak pelak membuat KPU dihujani kritik pedas. Bawaslu menilai KPU tidak belajar dari penyelanggaraan pemilu 2004, serta tidak memiliki perencanaan dan manajemen yang tertata rapi. Kinerja KPU jauh dari memuaskan. Banyak kalangan masyarakat, mungkin saking emosinya, menuntut agar KPU dibubarkan saja.

Sebenarnya cacatan kritis perlu diajukan bukan hanya ke KPU tapi juga pemerintah. Hampir sebagian besar warga mengatakan pemilu kali ini ribet, membingungkan. Jumlah parpol peserta pemilih, 38 partai, terlalu banyak. Kertas suara terlalu lebar sehingga pemilih kesulitan membukanya di bilik suara.

Pemerintah perlu menyederhanakan pemilu. Kuantitas kontestan pemilu legislatif yang sangat banyak membuat pemilih, khususnya para lansia kewalahan, bingung. Apakah banyaknya jumlah parpol peserta pemilu menjamin demokrasi di Indonesia makin maju? Para pengamat politik menilai pemilu yang baru saja usai malah berjalan mundur dari pemilu sebelumnya.

Yang dibutuhkan masyarakat bukan kuantitas parpol peserta pemilu, tapi kualitas dan program-programnya yang menyentuh dan berpihak pada wong cilik, buruh, petani, nelayan, dsb, bukan janji-janji yang dicantelkan di pohon-pohon, tapi yang benar-benar nyata dipenuhi.

Antusiasme dan animo masyarakat untuk memilih wakilnya di parlemen telah sirna sebab citra dan kinerja anggota dewan produk pemilu 2004 tidak menggembirakan. Banyak anggota dewan yang terhormat terlibat pelanggaran hukum, seperti korupsi, selingkuh, terjerat narkoba hingga mempertontonkan sikap arogan di jalan raya.

Tingkat partisipasi pemilih di TPS-TPS, sangat rendah. Seperti di TPS di mana Wakil Presiden Jusuf Kalla mencentang di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, hampir 50 persen dari jumlah DPT tidak hadir. Di TPS di kompleks DPR/MPR Kalibata, Jakarta Selatan, jumlah DPT 455 orang, tapi yang menggunakan hak pilih “sebanyak” 18 orang, termasuk saksi dan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kondisi serupa ditemui hampir merata terjadi di TPS-TPS di Ibu Kota.

Masih ada satu hajatan lagi. Oleh karena itu pemerintah perlu membangkitkan spirit masyarakat agar “hidup” kembali menjelang Pemilihan Presiden yang akan dilaksanakan. KPU berikut segenap jajarannya harus bekerja keras membenahi segala perangkat dan administrasi pemilu agar pelaksanaan dan hasil pilpres 8 July mendatang berkualitas.

(Note: Telah dimuat di Majalah FORUM KEADILAN EDISI APRIL 2009)

(Marolop Simatupang)

Email: toepang78@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Beri Komentar atau Kritik Membangun