Kamis, 16 April 2009

Tentang Perkawinan-Perceraian-Menikah Lagi

Oleh Perry B. Cotham*

Salah satu dari pokok persoalan penting yang dihadapi gereja dan dunia saat ini adalah mengenai keluarga dan pokok bahasan tentang perkawinan, perceraian dan kawin kembali. Kita perlu mempelajari subjek ini dalam terang apa yang dikatakan oleh Kitab Suci.

Bagaimanapun, kita sadar ini akan menyinggung perasaan orang. Namun hukum Tuhan harus tetap diberitakan, bukan? (Ibr. 5:9). Tidak ada masalah yang kita hadapi itu sama bahayanya dengan masalah ini, khususnya di antara anak-anak muda. Hampir setiap gereja lokal punya anggota yang telah bercerai dan menikah lagi.

Keluarga dan Perkawinan (Seperti yang Didefinisikan Oleh Sang Pencipta)

Keluarga berasal dari Ilahi, sangat berharga, dan merupakan salah satu dari kata-kata terindah dalam bahasa manusia. Sang Khalik menciptakan keluarga dari sejak permulaan. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kej. 1:1)

Kemudian pada hari ke-enam dari hari-hari penciptaan, setelah semuanya diciptakan, Ia menciptakan “... manusia itu menurut gambar-Nya ... laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej. 1:27)

Lagi dikatakan dalam Alkitab, “Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu ... TUHAN Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej. 2:8, 18)

Di Taman Eden yang begitu indah, taman Firdaus di muka bumi, tidak dijumpai seorang penolong yang sepadan untuk Adam, (ay. 20). Kata sepadan, yang terkadang diartikan secara keliru disebut pasangan, berarti seorang penolong, pasangan yang sejodoh, jenis pertolongan yang dibutuhkan laki-laki.

Berbagai jenis binatang mempunyai pasangan masing-masing, tapi manusia itu tidak. Tidak ada di antara binatang-binatang itu yang cocok bagi Adam. Kemudian Allah membuat manusia pertama itu tertidur, lalu mengambil salah satu rusuk dari sisinya dan dibangun-Nyalah Hawa, perempuan pertama dan diberikan kepadanya sebagai pasangannya (Kej. 2:15-23) Ini melengkapi kebahagiaan Adam.

Kemudian Allah memberikan hukum hubungan perkawinan, berbunyi, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej. 2:24).

Keluarga – Karunia yang Sangat Berharga

Keluarga merupakan salah satu dari karunia terbesar dari Sang Pencipta. Di dalam lubuk hati jiwa manusia terdapat kasih sayang akan keluarga. Banyak dari antara kita ketika berbicara tentang keluarga, maka pikiran kita melayang ke suatu tempat yang membuat kita rindu dengan kenangan akan perhatian seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, hubungan yang sangat bahagia antara kakak-beradik.

Sering kita mendengar orang-orang berbicara tentang keluarga pada masa kanak-kanak mereka. Mereka nampaknya menyenangkan sekali tinggal dengan keluarga mereka pada masa-masa yang telah berlalu.

Keluarga, apakah kita orang kaya atau miskin, harus menjadi tempat perlindungan kudus hidup kita. Cinta dan kasih sayang sebuah keluarga yang sakinah sangat menakjubkan dan menghasilkan tanda surga, di dalamnya terdapat pertalian sosial yang sangat erat. Sering dikatakan bahwa “orang yang berbahagia adalah dia, apakah dia seorang raja atau orang miskin, yang menemukan damai sejahtera dalam keluarganya.”

Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang menjadi satu-satunya tempat peristirahatan yang tenang yang dimiliki manusia di muka bumi ini untuk perkembangan sifat mulianya sebagai manusia. Dalam pengertian yang sesungguhnya, keluarga membuat manusia menjadi seseorang yang berarti. Keluarga berpengaruh besar pada bangsa.

Kekuatan setiap bangsa terletak pada keluarga dan masyarakat yang hidup rukun dan damai. Bagi Adam, taman Eden adalah kediamannya. Bagi orang-orang saleh di antara keturunannya, kediamannya adalah taman Firdaus. Keluarga merupakan unit dasar masyarakat.

Suasana dan sifat keluarga akan berpengaruh besar pada anak-anak. Keluarga merupakan tempat terbaik untuk melatih akan sifat-sifat baik manusia. Dari keluarga terlahir anak-anak, dan mereka keluar dari rumah dengan tanda-tanda keluarga ini pada mereka.

Jika keluarga itu hidup rukun, sakinah, maka anak-anak dari keluarga itu kelak akan menjadi anak-anak seperti yang Tuhan kehendaki. Salomo menulis, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Ams. 22:6)

Keluarga sakinah merupakan kekuatan besar untuk kebaikan. Kita harus berterimakasih untuk keluarga-keluarga yang baik itu. Sekarang ini, tuntutan yang dibutuhkan adalah keluarga dibangun atas nilai-nilai kekristenan. Membangun keluarga yang baik adalah salah satu dari pekerjaan terbesar di mana setiap orang bisa ikut serta.

Allah mengharapkan keluarga menjadi tempat dasar pendidikan rohani bagi anak-anak. Musa mengatakan tepat seperti itu kepada orang Israel dalam Ulangan 6:5-9. “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”(ayat 7).

Dalam Efesus 6:4, Paulus mengingatkan bapa-bapa untuk mendidik anak-anak mereka “di dalam ajaran dan nasehat Tuhan.” Allah mengaruniakan anak-anak kepada para orangtua, bukan kepada gereja atau negara.

Sebab itu, orangtua harus menyadari dan menerima tanggungjawab penting ini untuk mengajar dan memberikan teladan yang baik kepada anak-anak mereka. Tentu saja, gereja juga harus membantu dalam pengajaran tersebut.

Keluarga: Proteksi

Tuhan menghargai perkawinan dan keluarga. Akan tetapi, dalam banyak hal, hukum-Nya mengenai keluarga, seperti yang Ia rencanakan, telah dibuang dari pola kehidupan kita.

Akibatnya, bangsa-bangsa berada dalam krisis moral dan spiritual yang sangat serius. Perzinahan menjadi hiburan nasional. Banyak yang mengolok-olok lembaga sosial perkawinan antara satu laki-laki dan satu perempuan. Banyak yang memiliki ide yang salah tentang hukum-hukum perkawinan.

Seringkali, apa yang diajarkan dan dikhotbahkan mengenai perkawinan, perceraian dan kawin kembali dengan label kekristenan hanya memiliki sedikit kemiripan dengan ajaran kekristenan yang sesungguhnya seperti yang diajarkan dalam Perjanjian Baru. Menyedihkan!

Sebuah keluarga tidak akan mampu mempertahankan furnitur dan berbagai perabot mewah dan mahal buatan manusia, namun jika hukum-Nya ada dalam keluarga itu, maka sebuah gubuk mampu mempertahankan kebahagiaan yang disusun dalam sebuah “rumah” yang besar.

Mayoritas dari kebahagiaan dan kesuksesan seseorang tergantung pada karakter dalam keluarganya. Kalau di dalam rumahnya seorang pun tidak ada yang peduli kepadanya, semuanya bersikap dingin atau cuek, maka sesungguhnya terdapat kegelapan dalam keluarga itu, meskipun nampaknya ia hidup cukup berada. Ia mungkin akan kehilangan pengharapan akan berkat-berkat hidup yang paling baik.

Kejahatan besar dari perceraian, yang mengancam stabilitas masyarakat bisa diperbaiki dengan menciptakan keluarga yang baik. Sebagaimana sebuah kaidah berbunyi, “Keluarga yang berdoa bersama-sama, tetap bersama-sama.”

Keluarga: Hukum Ilahi Tentang Perkawinan, Perceraian dan Kawin Kembali

Sang Khalik merencanakan perkawinan bagi semua umat manusia kalau mereka memilih menikah. Dan Ia telah memberikan hukum untuk melindungi kesucian keluarga.

Yesus, dalam khotbah di atas bukit, ketika berbicara tentang perkawinan, perceraian dan kawin kembali, berfirman, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Mat. 5:32)

Kemudian dalam pelayanan-Nya, orang-orang Farisi mencobai Dia, bertanya tentang perceraian dan kawin kembali. Kristus menjawab mereka dengan mengacu pada apa yang telah Allah tetapkan sejak semula, bahwa Ia menciptakan satu laki-laki dan satu perempuan, bukan dua isteri atau lebih bagi satu laki-laki, atau dua suami atau lebih untuk satu perempuan (Mat. 19:3-8).

Kristus juga berfirman, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat. 19:6). Allah mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Bukan manusia yang mempersatukan mereka.

Perkawinan lebih dari sekedar sebuah perjanjian sosial atau upacara resmi. Perkawinan adalah sebuah institusi dari Ilahi. Sangat disesalkan bahwa di negara kita, dan di mayoritas di berbagai negara di dunia ini, hampir semua pemerintahan sipil telah mengesampingkan hukum Ilahi dengan mengizinkan perceraian dengan berbagai-bagai penyebab dan menikah lagi.

Ketika sepasang laki-laki dan perempuan mengucapkan janji pernikahan maka janji itu harus diucapkan dengan niat yang sungguh untuk hidup bersama sebagai pasangan suami-isteri sampai maut memisahkan mereka. Sejak semula, Allah bermaksud seperti itu: Satu suami, satu isteri, seumur hidup! Akan tetapi, peningkatan angka perceraian di negara ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Statistik terbaru mengatakan perkawinan yang gagal saat ini banyak. Di beberapa wilayah di negara kita, persentasenya naik mencapai sampai 43 persen dari perkawinan pertama bercerai dalam lima tahun. Dalam tahun-tahun belakangan ini bercerai lalu nikah lagi diterima masyarakat sebagai hal yang biasa.

Saat ini, di negera kita, Amerika, terdapat lebih dari satu juta perceraian setiap tahunnya. Banyak yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan dan aborsi bertambah terus. Delapan puluh lima persen dari remaja yang menikah sekarang berakhir dalam perceraian.

Saat ini tidak banyak pengajaran yang kita dengar yang disampaikan untuk menentang perceraian dan nikah lagi. Maleakhi, seorang nabi dalam Perjanjian Lama, berkata bahwa Allah “membenci perceraian” (Malk. 2:16). Angka perceraian setiap waktu tinggi karena keluarga dibangun tanpa menghiraukan hukum Allah.

Kita perlu membimbing anak-anak muda kita dan menolong mereka jatuh cinta pada orang yang benar serta menjadi orang yang benar, supaya perceraian yang gampang terjadi itu diakhiri. Dari keluarga-keluarga berantakanlah kenakalan anak-anak dan orang dewasa saat ini berasal.

Dalam pikiran sebagian orang tidak ada yang suci dalam perkawinan dan keluarga. Tapi tidak akan ada perceraian tanpa dosa melawan hukum Ilahi yang membahayakan keselamatan jiwa seseorang. Ketika sebuah perkawinan hancur, biasanya satu jiwa akan binasa.

Ketika Allah berfirman seorang laki-laki akan “bersatu” dengan isterinya, Ia menggunakan sebuah kata yang kuat, yang secara literal berarti “dilem ke suatu benda”. Orang yang menikah harus tunduk kepada hukum-Nya, hukum tentang pernikahan. Imoralitas adalah suatu usaha untuk menghancurkan perkawinan.

Salah satu dari tujuan perkawinan dan keluarga sejak semula adalah untuk memenuhi bumi di bawah hukum dan peraturan Ilahi (Kej. 1:28). Tujuan lainnya, menurut rasul Paulus, adalah untuk kebahagiaan orang yang menikah itu (1 Kor. 7:2-5). Sebuah bangsa tidak bisa bertahan jika tidak ada hormat terhadap kesucian akan janji-janji perkawinan itu.

Di Amerika, sering dikutip bahwa 50 persen dari perkawinan berakhir dengan perceraian. Ke 50 persentase tersebut menyumbang beberapa bentuk perceraian bukan karena suatu kesalahan. Angka perceraian tahun 2000 adalah 47,6 persen.

Pengajaran atau legislasi apa pun yang dikeluarkan oleh gereja atau negara tentang subjek perkawinan yang bertentangan dengan pengajaran Tuhan seperti yang tertulis dalam Kitab Suci merupakan pemberontakan terhadap otoritas-Nya. Suami-isteri tidak boleh diceraikan kecuali melalui otoritas Tuhan. Apa yang telah dipersatukan oleh Allah enggak boleh diceraikan manusia.

Jika salah seorang dari pasangan suami-isteri itu berzinah, maka pihak yang tidak berdosa itu berhak menceraikannya (suami/isteri) dan nikal lagi dengan orang lain yang memenuhi syarat untuk menikah. Perzinahan yang dilakukan oleh salah satu dari pasangan yang telah menikah itu akan memberikan hak kepada pihak yang tidak bersalah untuk nikah lagi.

Semua orang harus mengajarkan tepat seperti apa yang diajarkan oleh hukum Ilahi mengenai perkawinan, perceraian dan kawin kembali. Hanya satu pelanggaran yang membuat perceraian dan kawin kembali sah menurut hukum, yaitu perzinahan.

Artinya, orang yang menikah lagi setelah bercerai bukan karena sebab zinah adalah berzinah. Ketika raja Herodes mengambil isteri Filipus, saudaranya itu, menjadi isterinya, Yohanes pembaptis berkata, “Tidak halal engkau mengambil Herodias.” (Mat. 14:3-4).

Namun itu tidak mengajarkan bahwa pihak yang berzinah itu bebas menikah lagi dan sah menurut hukum. Sang Khalik merencanakan satu laki-laki dan satu perempuan untuk dipersatukan dalam ikatan perkawinan, tidak boleh diceraikan sampai ajal menjemput.

Pengajaran Tuhan tentang subjek ini sangat jelas dan mudah dipahami. Adam tidak bisa menceraikan isterinya, lalu menikah lagi dengan perempuan lain sebab tidak ada perempuan lain yang diberikan kepadanya, hanya Hawa.

Perkawinan antara satu laki-laki dan satu perempuan, untuk seumur hidup mereka, seperti yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Tak satu pun hukum dunia yang bisa menginjak-injak hukum Ilahi atau membenarkan apa yang menurut hukum-Nya salah. Tuhan yang “menikahkan” dan Ia yang “melepaskan” nya.

Tidak ada sangkut-pautnya antara negara dengan perkawinan, meskipun beberapa perkawinan dapat dengan mudah dibubarkan di bawah sistem undang-undang negara. Ini adalah sebuah masalah serius yang menjadi keprihatinan keluarga dalam gereja dan negara.

Masyarakat saat ini sangat membutuhkan pengajaran tentang pokok persoalan ini. Berbagai acara di TV kita, koran, majalah, film dan buku merupakan alat yang dipenuhi dengan saran-saran untuk melanggar hukum-hukum moral dalam aktivitas-aktivitas percabulan.

Perzinahan, Amoral

Tuhan yang menciptakan manusia dan memberikan hukum perkawinan, menyebutkan satu alasan untuk bercerai dan boleh nikah lagi: Perzinahan. Pihak yang tidak bersalah dari pasangan itu boleh menceraikan pihak yang bersalah itu atas dasar-dasar karena perzinahan. Dan yang tidak bersalah itu punya hak untuk kawin lagi, namun pihak yang bersalah itu tidak.

Karena itu, jika terjadi perzinahan, maka pihak yang bersalah itu boleh diceraikan, dan pihak yang tidak bersalah itu boleh kawin lagi dengan orang lain dan tidak berbuat zinah; namun kedua orang itu tidak boleh berkata saya mau bercerai, hanya satu orang yang boleh berkata seperti itu dan berhak kawin kembali. Pihak yang bersalah itu tidak punya hak secara alkitabiah untuk kawin kembali seperti yang dimiliki oleh pihak yang tidak bersalah itu, (Mat. 19:9).

Bagaimanapun juga, pihak yang bersalah itu bisa bertobat dari dosanya, namun ia telah kehilangan hak untuk kawin kembali. Bercerai karena alasan lain, bukan oleh karena perzinahan, maka kedua pihak itu tidak boleh kawin kembali; dalam kasus seperti ini siapa yang kawin kembali berarti ia telah memulai sebuah hidup dalam zinah, (1 Kor. 7:10-11).

Beberapa orang sekarang ini ingin menerima homoseksualitas dan bentuk-bentuk percabulan lainnya sebagai “selingan gaya hidup”. Namun hal-hal yang demikian dikecam oleh hukum Ilahi.

Sang Khalik tidak pernah bermaksud seorang laki-laki “menikah” dengan laki-laki, atau seorang perempuan dengan seorang perempuan, atau seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu.

Dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan adalah “kekejian.” “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” (Imm. 18:22; 20:10-16; Rom. 1:24-32).

Orang-orang yang mempraktekkan homoseksualitas biasanya disebut “gay” “atau “lesbian,” (bdg. Kej. 19). Bagaimanapun “perkawinan” sesama jenis sulit diterima akal sehat. Bukan seperti itu rencana perkawinan dari Ilahi. Hukum perkawinan dari Tuhan universal, berlaku kepada semua orang, di semua tempat.

Kristus dan Paulus

Dua kali Rrsul Paulus berkata bahwa seorang isteri terikat kepada suaminya selama suaminya hidup. “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.” (Rom. 7:2-3).

Kemudian, “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya.” (1 Kor. 7:39).

Karenanya beberapa orang berasumsi Paulus tidak mengizinkan perceraian, tanpa kecuali, hanya kematian yang dapat mengakhiri ikatan perkawinan itu. Kalau kesimpulan ini benar, maka kita memiliki Kristus mengajarkan satu hal dan Paulus mengajarkan hal lain.

Kristus mengajarkan apa yang telah menjadi hukum sejak semula, dan pastinya, Paulus juga tidak akan mengajarkan ajaran yang berbeda. Lalu apa jawabannya? Mengapa Paulus tidak menyebutkan pengecualian seperti yang diajarkan oleh Yesus? Jawabannya adalah dalam memberikan sebuah hukum atau peraturan tidak perlu harus selalu menyebutkan pengecualiannya, atau beberapa pengecualian.

Dalam kitab Roma 7:2-3 Paulus tidak sedang membicarakan perkawinan, tapi kemerdekaan orang Yahudi dari hukum Musa; ia memberikan ikatan perkawinan sebagai ilustrasi. Seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya bebas untuk menikah lagi; orang Yahudi yang sebelumnya berada di bawah hukum Musa sekarang telah merdeka, oleh kematian-Nya, untuk menjadi milik Kristus. Dalam hal ini rasul hanya menyebutkan apa yang dicakup dalam hukum itu.

Dalam kitab 1 Korintus 7 Paulus berkata seorang isteri terikat kepada suaminya selama suaminya itu hidup; ia tidak menyebutkan pengecualian, (ay. 39). Juga Markus, dalam kitab Markus 10:11-12, dan Lukas dalam kitab Lukas 16:18 tidak menyebutkan pengecualian seperti yang disebutkan oleh Matius. Rasul dari suku Benyamin ini juga memberikan nasihat-nasihat lain, (ay. 1-14, 25-26, 40), dan tidak pernah bertentangan dengan pengajaran Kristus.

Pihak yang tidak bersalah dari pasangan itu bisa saja memaafkan pasangannya yang telah berzinah itu sehingga perceraian bisa dihindari dan ikatan perkawinan tetap langgeng. Namun biasanya yang terjadi tidak seperti ini.

Kesimpulannya, bahwa bercerai lalu nikah kembali, kecuali karena sebab zinah, adalah salah di hadapan-Nya. Meskipun orang itu bukan pihak yang bersalah, dan diceraikan dengan cara yang tidak benar, ia tidak punya hak untuk menikah lagi tanpa berbuat zinah.

Kita tidak bisa merobah hukum Ilahi. Jika perceraian terjadi bukan karena sebab zinah, dan pasangan suami-isteri itu masing-masing menikah lagi, maka ke-empat orang tersebut hidup dalam hubungan perzinahan.

Kadang perkataan rasul Paulus dalam kitab 1 Korintus 7 :12-15 dipakai sebagai alasan kedua untuk sebuah perceraian orang-orang percaya dan kawin kembali.“Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.”

Paulus berkata bahwa Kristus, dalam pelayanan-Nya, tidak mengajarkan tentang kawin campur. Kata terikat berarti perhambaan. Orang beriman tidak diharuskan untuk meninggalkan Kristus supaya bisa tetap mempertahankan hubungan perkawinan dengan orang yang tidak beriman atau penyembah berhala. Kalau suami yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai, tetapi engkaulah tetaplah setia kepada-Nya.

Dan tentu saja jika suaminya itu pergi dan berzinah, yang mungkin akan ia lakukan, maka orang beriman itu, atas dasar perzinahan tersebut punya hak untuk bercerai dan kawin kembali, kalau ia mau. Si isteri tidak harus “murtad” dari imannya hanya demi mempertahankan hubungannya.

Berapa lama lagi kita bersikap acuh tak acuh terhadap hukum-Nya tentang moralitas? Berapa lama lagi kita bersikap masa bodoh terhadap subjek yang sensitif ini? Saat ini banyak orang yang hidup dalam “perzinahan yang dilegalkan.” Mereka secara alkitabiah tidak menikah tapi hidup dalam dosa.

Beberapa orang berpikir jika mereka bercerai bukan oleh sebab zinah, maka mereka berdua bisa menunggu sambil berharap salah satu dari antara mereka menikah lagi. Kemudian mereka percaya orang yang lebih dulu kawin kembali berarti telah berbuat zinah, dan ini membuat pihak yang satunya lagi berhak secara alkitabiah untuk menikah lagi.

Akan tetapi yang diajarkan Yesus tidak seperti ini. Ini sering disebut dengan “permainan yang ditunggu-tunggu.” Namun itu bukan perceraian “oleh sebab zinah.” Yesus mengajarkan bahwa perzinahan memberikan hak bagi seseorang untuk mengakhiri ikatan perkawinan dan menikah lagi, namun perceraian karena alasan lain selain dari pada zinah tidak mengizinkan kedua pihak dari pasangan itu untuk kawin kembali.

Banyak Keluarga yang Baik

Saat ini ada banyak keluarga yang baik, dan tentu saja ini memberikan pengaruh yang baik bagi dunia dan negara kita. Sang Pencipta bermaksud agar semua keluarga seperti itu.

Seorang suami harus mengasihi isterinya. Dan ingatlah bahwa seorang isteri yang saleh abadi seperti surga, karunia terbaik untuk suami. Suaranya adalah alunan melodi yang paling manis, dan doa-doanya merupakan permohonan yang paling kuat untuk mendapatkan berkat-berkat surgawi melimpah ke atasnya. Ini sangat menolong untuk menghindari dosa perzinahan.

Rasul Paulus menulis, “Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.” (1 Kor.7:2).

Hal yang sama berlaku kepada isteri yang memiliki suami yang saleh. Isteri harus mencintai suaminya sebagai pasangannya satu-satunya dalam hidup dan seorang “penolong sepadan” yang benar. Keluarga yang baik di negeri ini sekarang merupakan “garam dunia” (Mat. 5:13) Kiranya Allah memberkati keluarga-keluarga yang demikian!

Perkawinan Mesti Dihormati

Kitab Ibrani 13:4 berkata, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.”

Dalam segala hal, perkawinan harus dipertahankan tetap terhormat. Pengajaran yang mengatakan bahwa hidup membujang merupakan kesalehan yang lebih unggul, tidak tepat. (1 Tim. 4:1-3). Perkawinan, yang Tuhan lembagakan di taman Eden, punya tempat Ia memberkati pasangan yang pertama, menempatkan hubungan seksual hanya dalam ikatan perkawinan.

Perkawinan dihormati ketika suami dan isteri saling respek. Sarah menghormati Abraham dengan memanggilnya “tuan” (1 Pet. 3:6). Perkawinan dihormati ketika para suami seperti Elkana, yang lebih berharga kepada isterinya daripada “sepuluh anak laki-laki” (1 Sam. 1:18). Ruth menunjukkan “kasih” dan kebaikan kepada Boas, (Rut 3:10-11).

Akwila dan Priskila memiliki perkawinan yang terhormat karena mereka bekerja bersama dalam pekerjaan Kristus dengan mengajar orang lain serta menjadikan rumah mereka sebagai tempat peribadatan bagi anggota gereja, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka untuk Paulus (Kis. 18:26; Rom. 16:3-5; 1 Kor. 16:19; 2 Tim. 4:19). Nama mereka selalu disebutkan secara bersama-sama.

Ingatlah selalu bahwa contoh kasih yang paling besar dalam sebuah perkawinan adalah pengorbanan, pemeliharaan dan penghargaan; seperti yang Kristus lakukan untuk gereja-Nya. “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” (Ef. 5:25).

Akar dari kebanyakan masalah yang terjadi di antara pasangan suami-isteri adalah sikap mementingkan diri sendiri. So, hidup saling mengasihi, menghargai dan setia merupakan pilihan yang paling tepat.

----------------

*Seorang Misionaris Sidang Jemaat Kristus, telah memberitakan Injil hampir di 70 negara, Pembicara di berbagai Seminar, Guru Alkitab, tinggal di Amerika Serikat.

(Alih bahasa dan diedit seperlunya oleh Marolop Simatupang)

1 komentar:

Silakan Beri Komentar atau Kritik Membangun