Kamis, 02 April 2009

Sang Tukang ... !

(Sebuah Refleksi Kehidupan)


Ini kisah seorang tukang rumah yang pernah saya baca di sebuah koran pagi. Ceritanya tidak persis sama.


Alkisah, seorang tukang rumah yang tekun dan ulet. Hasil pekerjannya selalu baik dan memuaskan. Ia menjadi andalan di perusahan tempatnya bekerja. Kendati gaji bulanannya pas-pasan, ia tetap bekerja dengan tekun dan disiplin menabung.
Ia menempatkan dana tabungannya pada investasi yang baik, seperti membeli sawah, kebun, emas dan deposito di bank. Perencanaan keuangan untuk masa depan.

Lantaran ketekunan itu, ia tidak cemas lagi menghadapi dan menyongsong masa pensiun. Justru ia tidak sabar lagi ingin segera pensiun. Ia merasa “hari bahagia” itu seolah datang sangat lambat.

Ia ingin cepat-cepat pensiun dan menikmati tabungan dan investasi yang ia pupuk bertahun-tahun. Ketika hari terakhirnya di perusahaan tiba, ia pun datang pamitan kepada pemilik perusahaan.

“Anda telah berjasa bertahun-tahun memajukan perusahaan ini. Saya harap Anda masih mau tinggal beberapa waktu di perusahaan ini,” ujar si pemilik perusahaan.

“Terima kasih atas penilaian Bapak. Tapi saya ingin menikmati masa pensiun dan sisa-sisa usia saya,” kata si tukang.

“Baiklah. Saya menghargai keinginan Anda. Tapi saya mohon kabulkan satu permohonan saya.”
“Apa itu Pak?”

“Tolong buatkan saya sebuah rumah. Setelah itu, silakan istirahat dan nikmati hari tua Anda,” pinta pemilik perusahaan. Permintaan itu membuyarkan rencananya.


Dengan berat hati, si tukang menerima order itu. Ia pun mengerjakan rumah itu dengan mengomel dalam hati. Ia mengerjakannya dengan tidak sepenuh hati. Sesuatu yang dikerjakan dengan tidak sepenuh hati, hasilnya pasti kurang sempurna!


Benar saja, bahan-bahan yang digunakan si tukang bukanlah kualitas terbaik. Pengerjaannya pun kurang fokus, kurang baik. Dia buru-buru mengerjakannya. Alhasil, rumah selesai dengan kualitas seadanya.


Kemudian si tukang menyerah kunci kepada pemilik. Si pemilik berterima kasih. Tapi, alangkah kagetnya si tukang, karena rumah yang ia bangun ternyata untuk dirinya sendiri. Rumah itu diberikan sebagai tanda terima kasih pemilik perusahaan kepada si tukang.

Hadiah atas prestasi dan jasanya selama bekerja di perusahaan. Si tukang bukannya langsung mengucapkan terima kasih, tapi malah diam termangu. Mulutnya seolah terkunci. Ia malu pada dirinya sendiri, sementara batinnya dipenuhi penyesalan yang dalam.


“Seandainya saya tahu dari awal rencana ini, tentu saya akan membangun rumah ini dari bahan-bahan yang berkualitas terbaik. Pe-ngerjannya akan sepenuh hati, tidak sembrono,” gumamnya.


Penyesalan tidak pernah hadir lebih awal, ia selalu datang kemudian!

Ada pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas sebagai bahan refleksi dan cermin dalam kehidupan kita setiap hari. Adalah diperlukan konsentasi yang tinggi dalam setiap pekerjaan. Jangan pernah kita melakukan suatu tugas atau pekerjaan dengan mengomel dan bersungut- sungut.


“Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan.”
Jangan pernah mengerjakan sebuah pekerjaan dengan setengah hati. Semudah apapun pekerjaan itu, kalau dilakukan tidak dengan sepenuh hati maka hasilnya akan jauh dari memuaskan. Jangan melakukan suatu pekerjaan dengan asal-asalan. Adalah perlu bagi kita semua bekerja dengan penuh tanggung jawab. Apapun profesi kita, bekerjalah dengan tekun, ulet dan penuh semangat. Tanggung jawab besar menanti di akhir setiap tugas.


Ingatlah! Pekerjaan yang dilakukan dengan sembrono, dengan tidak sepenuh hati, hasilnya akan buruk. Dan siapapun orangnya tidak ingin mendapatkan hasil buruk.
Waktu yang diberikan sekarang ini harus kita gunakan dengan bijaksana, Bekerjalah dengan sepenuh hati!


Penyesalan tidak pernah hadir lebih awal, ia selalu datang kemudian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Beri Komentar atau Kritik Membangun